Secangkir Kopi
Sebenarnya dia adalah laki-laki yang tak dikenal yang tiba-tiba muncul di dusun kecil tepi pantai ini. Paryati pun belum sempat menanyakan siapa dia dan dari mana asalnya, apa tujuannya ke dusun ini? Perempuan dusun itu tidak berani banyak bertanya karena takut dibilang tidak sopan. Dia juga tidak ingat untuk memperkenalkan diri dan bercerita tentang asal-usul serta tujuannya. Orang-orang di dusun ini terlalu ramah, cepat akrab, sehingga meskipun belum lama tapi sudah merasa seperti di rumah sendiri. Dia juga punya penampilan yang tidak mencurigakan, dan mudah akrab dengan siapa saja.
Pada hari lain Paryati kehabisan gula, maka perempuan ini hanya bisa menyuguhkan kopi pahit. Dia tidak marah dan bertanya kenapa Paryati tidak membeli gula? Dia tetap memuji-muji Paryati, walau kopinya pahit, toh Paryati tetap manis. Tentu saja isteri jurumudi perahu nelayan ini jengah tapi hatinya berbunga-bunga. Dia jarang melihat laki-laki yang bertubuh gagah, berkulit kuning bersih, wajahnya tentu saja tampan. Jelas laki-laki bukan orang sembarang, entah kenapa mau mampir di warungnya yang sangat tak layak itu?
“Kalau tidak punya uang untuk beli gula, bilang saja sama aku. Berapa perlumu untuk beli gula?” katanya sambil tetap menyeruput kopi pahit.
Paryati cuma tersenyum. Dia menyodorkan beberapa lembar uang berwarna.
“Uangku habis karena harus membayar dokter kemarin untuk memeriksakan anakku sakit, juga untuk membeli obat,” ujar Paryati dan mengambil uang yang disodorkan laki-laki itu di meja. Sejak kedatangan laki-laki ini Paryati merasa sejahtera dan baru sekarang bisa memegang, bahkan memiliki lembaran-lembaran uang berwarna merah itu.
Dia mengangguk-angguk, menyeruput kopi pahit itu lagi. Lalu mengalihkan pandangan ke laut lepas, menatap cakrawala yang dilatari perahu-perahu nelayan, terombang-ombing dipermainkan angin. Di sudut mana pun dunia ini, pemandangan pantai dan laut selalu indah. Pantai dengan pasir dan pohon-pohon selalu dibelai oleh laut dengan ombaknya yang mengalun, kadang ombak-ombak itu keras menerjang, memecah kesunyian.
Dia menyulut sebatang rokok, menghembuskan asap, lalu menyeruput lagi kopi pahitnya. Paryati telah menyelinap ke dalam dan lembaran uang tadi dia selipkan di kutangnya sehingga buah dadanya sedikit terganjal. Lalu Tarman suaminnya tampak sibuk dan tergesa-gesa ke belakang. Dia tahu suaminya itu akan segera melaut, sarapan paginya sudah dihabiskan.
“Aku pergi bu…” ujar suaminya.
Seperti sudah sangat biasa, pamitan pagi itu pun hanya pemberitahuan saja. Paryati tak merasa perlu untuk menjawab suaminya, kecuali secuil senyuman enteng di sudut bibirnya. Setelah itu Paryati keluar lagi dan sengaja membuka beberapa kancing bajunya. Begitu Paryati bermain mata di depan pintu, dia sudah mengerti isyarat itu. Dia berdiri dan menyerbu masuk. Kedua makhluk itu langsung berpelukan, saling memagut, lalu bergulingan. Lalu desah nafas-nafas itu seperti mengikuti irama ombak menuju pasang. Perahu-perahu nelayan pun terus menjauh dari pantai.
***
Secangkir kopi kental manis selalu tetap terhidang di meja pojok warung bambu itu. Telah beberapa hari, beberapa minggu dan bulan, kopi kental manis itu dingin saja di sana. Laki-laki itu tiba-tiba tidak muncul dan tidak muncul juga. Tapi Paryati setiap pagi selalu tetap menghidangkan kopi kental manis di meja itu. Sore hari kopi itu akan di minum Tarman suaminya yang pulang melaut.
“Barangkali dia tidak akan kembali ke sini lagi? Laki-laki aneh yang kita tidak tahu asal-usulnya dan tujuannya ke pantai ini,” ujar Tarman ketika dia tanpa sungkan mengambil cangkir kopi kental manis itu lalu menyeruputnya di bawah sinar lampu listrik 10 watt yang temaram.
“Emang gue pikirin….” ujar Paryati pura-pura marah pakai gaya bahasa anak muda.
Laut telah mengajari Tarman untuk melembutkan hati. Setiap kali ketika melaut sambil mengemudikan mesin perahu, ia sering bertanya apakah di dasarnya sana laut tetap berwarna biru? Tapi laut kadang membuatnya gembira karena memberinya banyak ikan, kadang juga laut membuatnya sedih karena ikan-ikan seperti menghilang di laut lepas.
Paryati beringsut masuk ke kamarnya. Gula sudah habis lagi. Besok dia masih bisa menyeduhkan kopi tanpa gula. Tapi kopi pun kini tinggal sedikit. Tarman meneguk sisa-sisa kopi di cangkir lalu berdiri. Sebenar kemudian dia pamit pada Paryati.
“Aku mau main ke rumah Pak Joko ya bu…?” ujar Tarman tanpa menunggu jawaban isterinya.
Paryati cuma menatap diam kepergian suaminya yang sebentar kemudian hilang dalam keremangan dusun pantai itu. Suara desah ombak tak pernah berhenti dibawa angin menyaputkan dingin. Paryati merebahkan dirinya di ranjang, di tempat tidur yang lain, anak perempuannya Sumi yang baru berumur 3 tahun telah terlelap sendiri dari tadi.
Sayup pelan suara musik gamelan mengalun dari rumah Pak Joko, tempat Tarman ikut sibuk menggesek kawat-kawat rebab yang parau. Membuat malam menjadi gemulai dan lamban.
Melewati malam yang lamban membuat Paryati terlambat bangun. Ia terbangun sudah agak kesiangan itu pun karena mendengar rengekan anaknya Sumi yang duduk di sebelahnya. Dia tidak melihat Tarman suaminya, mungkin sudah melaut? Diraihnya anak perempuan berumur 3 tahun itu, digendongnya ke luar kamar. Dia ingat belum masak air untuk menyeduhkan kopi. Segera saja setelah mendudukkan Sumi di amben bambu di dapur, lalu membuat api, mengisi ceret dengan air. Ia menjerang air sambil membelai-belai anaknya Sumi. Anak itu kembali merengek dan Paryati tahu anak itu pasti lapar dan ingin makan.
Tidak berapa lama di meja yang biasa telah terhidang secangkir kopi. Setelah meletakkan secangkir kopi di meja itu, Paryati memberi makan anaknya dan mandi bersih. Meski pantai ini belum begitu dikenal oleh para pelancong, tapi sudah banyak juga yang suka berwisata ke sini. Sudah banyak juga warung-warung makan yang lain didirikan untuk melayani para pelancong, bahkan penginapan yang sederhana pun sudah tersedia pula bagi yang ingin menginap. Warung makan Paryati sering juga jadi tempat istirahat para pelancong. Paryati kini telah siap melayani pelancong yang ingin mampir di warungnya.
Paryati duduk menunggu pelancong yang mau mampir ke warungnya. Sumi, anak perempuannya bermain sendiri. Paryati menatap termangu ke arah pelancong yang lalu lalang di depan warungnya. Orang-orang yang berwajah ceria, ada yang berpeluk-pelukan seperti sedang berpacaran. Paryati tetap melamun ketika beberapa anak muda masuk ke warungnya dan memesan minuman.
“Boleh duduk di sini bu?” ujar salah seorang anak muda itu sambil menunjuk ke arah meja yang ada secangkir kopi di atasnya.
“Oh boleh, boleh…” ujar Paryati tergagap dari lamunannya.
“Ini kopi siapa?” ujar anak itu pula.
“Oh ini tadi pesanan seseorang, tapi entah kemana dia sekarang?” ujar Paryati bergegas mengambil cangkir kopi itu dan memindahkannya ke tempat lain. Sekilas dia ingat laki-laki itu dengan perasaan menyesal, tapi beberapa detik berlalu, cangkir itu terguling dari tempatnya dan tumpah. Angin pantai mendesah, menjauh perlahan ke arah yang tidak diketahui. Anak-anak muda yang kehausan itu riuh, minta Paryati cepat menyiapkan pesanannya. Kesibukan warung yang membuat Paryati masih punya harapan karena itu dia tetap berusaha melayani pembelinya dengan baik. Paryati tersenyum.
***
Di sebuah penjara kokoh di kota, detik-detik waktu sama lambannya seperti di pantai itu. Tiga tahun mendekam dalam ruang pengap penjara penuh derita, tentu saja memberikan perobahan yang sangat tajam pada penampilan dirinya. Tubuh yang dulu gagah berdaging, kini terlihat lebih kurus dan pucat. Hanya saja penampilan yang terbiasa rapi dan bersih tetap tidak hilang darinya. Ketika semua urusan pembebasannya selesai, penjaga penjara membukakan pintu. Dia memang masih sempat berbasa-basi sebentar, setelah itu bersama isteri dan anak-anak yang menjemputnya, dengan cepat ia masuk ke mobil yang telah menunggunya sejak pagi. Dia pulang ke rumah, kembali ke keluarganya dalam kehidupan yang merdeka.
Ada rasa senang di hatinya karena telah mendapatkan kembali kebebasannya. Dia merasa telah bebas dari rasa bersalah karena telah menebusnya dengan kurungan penjara. Dia juga merasa sudah bebas dari rasa bersalah mengambil uang negara karena telah ditebusnya dengan semua hartanya yang disita pengadilan untuk dikembalikan kepada negara. Dia masih merasa beruntung karena masih ada tersisa sebuah rumah untuk tempat tinggal anak dan isterinya, juga sebuah mobil. Tapi tentu saja dia kini telah menjadi rakyat biasa, tak punya jabatan apa-apa.
“Sudahlah, sekarang bapak lupakan saja semua yang telah lalu. Terserah bapak mau cari kesibukan apa, kalau bapak malu tinggal di kota ini, kita bisa pindah ke kota lain, atau kemana saja. Ibu menurut saja pada kemauan bapak…”, ujar isterinya sejenak ketika mobil yang membawanya meluncur pulang dari penjara.
”Dibicarakan nanti saja bu, yang penting bapak pulang dulu ke rumah dan istirahat, menenangkan diri. Beri bapak kesempatan untuk berpikir,” ujar salah seorang anaknya yang ikut menjemput
Dia mengangguk-angguk kecil seperti membenarkan kata-kata anaknya. Mobil yang menjemputnya terus meluncur makin menjauhi penjara celaka itu.
“Jangan pernah lagi hidup dalam penjara….! katanya dalam hati penuh penyesalan. Isterinya menyandarkan kepala di pundaknya dengan perasaan sangat tenang. Setenang pantai di dusun sana yang bayangannya tiba-tiba menyeruak di benaknya.
“Apa kabar pantaiku?” bisiknya dalam hati, 3 tahun lamanya dia tidak melihat pantai itu tanpa berkabar. Tiga tahun lalu dia pun pergi saja meninggalkan pantai itu tanpa pesan apa-apa? Dia ingin ke pantai itu, dia ingin sekali menghirup kopi kental manis di sana.
“Alangkah kangennya?” bisiknya pula dalam hati yang bergetar-getar.
***
ia telah mendapatkan kembali kebebasannya dengan tebusan kurungan penjara dan harta bendanya untuk mengganti kerugian negara yang pernah dia ambil. Dia memang menyesal telah melanggar hukum dan kini kehilangan pekerjaan dan jabatan.
“Tapi aku tak boleh kehilangan harapan!” ujarnya sambil menapaki pasir pantai dan ingat kata-kata isterinya bahwa dirinya memang tak boleh kehilangan harapan. Dia masih muda, masih punya harapan.
Dia melihat warung itu masih tetap berdiri di tepi pantai itu. Ada luapan kegembiraan yang mendorong dia melangkah lebih cepat. Siang mulai merambat naik, angin mulai berhembus kencang tanda laut akan pasang. Di tengah laut yang jauh perahu-perahu nelayan berseliweran, terombang-ambing oleh ombak dan angin.
Hup, dia telah berdiri di depan warung itu. Tiga tahun telah berlalu tapi tak ada yang berobah di sini. Meja tempat dia biasa duduk masih di tempatnya. Dia seperti melihat cangkir kopinya pun masih ada, mengepulkan asap memancing gairah.
“Mari pak, silakan….!” sambut seorang wanita dari dalam warung itu kepadanya.
“Ya, ya, yaaa…” katanya tergagap, lalu mencoba tersenyum.
“Apa mbak Paryati ada….? sambungnya sambil tetap berdiri di dekat meja itu.
“Oh, mbak Paryati yang punya warung ini dulu? Dia kan sekarang sudah tinggal bersama Pak Joko, itu di rumah besar itu…!” ujar wanita itu penuh tanda tanya ke wajahnya.
“Jadi warung ini bukan tempatnya lagi?”
“Warung ini sudah dijual kepada kami sejak suaminya yang dulu, Tarman, mati karam di laut,” ujar wanita itu pula.
“Ha, Tarman mati karam di laut?”
“Ya sudah lebih dari 2 tahun lalu, dan mbak Paryati kemudian dikawini Pak Joko yang juragan kaya itu. Daripada hidup menjanda, memang beruntung mbak Paryati bisa jadi bini juragan kaya. Lha, bapak ini siapa dan kenapa mencari mbak Paryati?” ujar wanita itu.
“Tidak, tidak apa-apa, saya dulu langganan minum kopi di sini. Ya, maaf mbak, terima kasih, saya harus pergi…” ujarnya kemudian berbalik. Kepalanya terasa agak berat membuat langkahnya sedikit gontai. Dia ingin sekali minum secangkir kopi kental manis agar bisa melangkah lebih tegak di pantai itu. Tapi yang bisa dia lakukan cuma berbalik menjauh dan angin laut makin kencang meniup ke pantai, makin bergemuruh pula ombak-ombak menerjang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar