Selasa, 28 Februari 2012

Pendaftaran Gold & Siver Member JCI

Pendaftaran Gold & Siver Member JCI

Pendaftaran Silver dan Gold member JCI dibuka kembali. Postingan di blog ini untuk membantu teman-teman yang belum mempunyai id forum di http://juventusclubindonesia.com Sehingga teman-teman bisa mengakses formulir pendaftaran dengan mudah.
Pendaftaran Silver dan Gold member JCI dibuka setiap bulannya dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10. Untuk JCI Chapter Wonosobo, teman-teman bisa mendaftar secara kolektif melalui saudara Kamal Sholahudin http://www.facebook.com/KAMAL.LOVE.VEECHA?ref=ts
Segala keperluan dan informasi bisa langsung menghubungi saudara Kamal. Nanti akan dijelaskan tentang hal-hal yang belum teman-teman ketahui. Di sini kami sertakan link untuk mendownload Formulir Pendaftaran Gold dan Silver Member. Silahkan didownload dan diisi sebagai mana mestinya dan dikumpulkan ke saudara Kamal paling lambat tanggal 9 Februari 2012.
Demikian informasinya, semoga bermanfaat untuk kita semua. 
Vinci per noi magica Juventus !

Senin, 27 Februari 2012

Profil [KH. Ahmad Fakih Muntaha]


KH. Ahmad Fakih Muntaha


Beliau adalah putra sulung KH.Muntaha Alhafidz  dari istri yang bernama Nyai Hj Maiyan jariyah, lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955. beliau akarb dipanggil dengan Abah Faqih. Beliau mempunyai 5 putra dan 1 putri yaitu ; 
1. H. Abdurrohman Al-Asy'ari, Alh, S.H.I
2. H. Khairullah Al-Mujtaba, Alh
3. Siti Marliyah
4. Nuruzzaman 
5. Fadlurrohman Al-Faqih
6. Ahmad Isbat Caesar

Putra-putri beliau sudah ada yang menyelesaikan pendidikan baik formal maupun non formal, baik S1 maupun tahfidzul Qur'an dan juga pondok pesantren. Bahkan putra beliau yang pertama dan kedua adalah alumnus Yaman "Ribat ta'lim Khadzral maut" dibawah asuhan Habib Salim As-Satiri
1. Riwayat Pendidikan
Beliau menjalani masa kanak-kanak dibawah asuhan langsung dari Almaghfurlah KH. Muntaha Alh. Selain itu beliau juga sekolah formal di SD Kalibeber, sedangkan SMP di Wonosobo yang kemudian melanjutkan di STM juga di Wonosobo setelah selesai sekolah formal bilau dikirim untuk belajar di pesantren seperti kebayakan gus-gus yang lain. Pada tahun 1973 beliau nyantri di Pondok pesantren tremas Pacitan dibawah asuhan KH. Habib Dimyati, sampai tahun 1978.
Dipondok tremas inilah beliau mendapatkan banyak ilmu agama,baik fan fikih,nahwu shorof dan ilmu kanoragan.setelah selesai dari pondok tremas  kemudian beliau pindah ke Krapyak yang pada waktu itu diasuh oleh beliau KH. Ali Maksum (juga termasuk salah satu teman seperjuangan Simbah Muntaha Alh) selama 1 tahun. Selanjutnya beliau nyantri lagi di Buaran Pekalongan kepada Al-Mukarrom KH. Syafi'I yang juga terkenal sebagai salah satu teman seperjuangan Al-Maghfurllah Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz. Setelah itu pada tahun 1980 beliau pulang ke Kalibeber yang dilanjutkan dengan nyantri di kaliwiro kepada seorang kiyai yang terkenal dengan panggilan Mbah Dimyati. Belum genap satu tahun beliau kemudian melaksanakan akad nikah dengan salah seorang santri kalibeber yang bernama Shofiah binti KH Abdul Qodir Cilongok Banyumas, kendati beliau telah melangsungkan pernikahan, namun bukan berarti akhir dalam menuntut ilmu, karena beliau masih tetap nyantri dengan Mbah dimyati di Kaliwiro selama kurang lebih satu tahun. Ketika di kaliwiro inilah beliau mendalami kitab-kitab yang besar antaralain : Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Ihya' Ulummuddin, Tafsir Al-Munir, dan lain-lain. Kemudian beliau mukim membantu perjuangan Ayahanda beliau yaitu Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz(Alm). Selama masa nyantri tersebut beliau mempunyai hobi yang sangat unik yang sama dengan hobinya Gus Dur yaitu Ziarah Qubur, beliau juga terkenal sebagai santri yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi dan selalu mentaati peraturan (Qonun) pondok pesantren yang ada walaupun beliau adalah putra seorang Ulama besar yang kharismatik.
2. Perjuangan Pendidikan 
Setelah pulang dari pesantren (Mukim pada tahun 1980) beliau aktif membantu mengajar di Pondok pesantren milik Ayahandanya dan ikut perkecimpung dalam masyarakat. Waktu itu santri di kalibeber baru sekitar 50 orang putra dan putri dengan prioritas Tahfidzul Qur'an (menghafal A-Qur'an) dan menggunakan sistem salafy. Pertama kali beliau mengajar pada santrinya yaitu kitab "Burdah" yang bertempat di masjid Baiturrochim. Selain mengajar pada santri beliau juga mengajar Diniyah ba'da dzuhur untuk orang kampung yang waktu itu bertempat di MI Ma'arif. Adapun kitab-kitab yang pernah beliau khatamkan antaralain adalah ; Taqrib, Bidayatul Hidayah, Sulamuttaufik, Safinah, dll sedangkan untuk ilmu nahwu diampu oleh teman beliau yaitu Bp H. Quraisyin.

Disamping mengajar, beliau juga ikut aktif dalam mendirikan lembaga-lembaga formal antara lain : SMP, SMA, SMK Takhassus Al-Qur'an dan IIQ (Sekarang UNSIQ). Beliau juga meneruskan cita-cita ayahanda beliau yang belum terealisir diantaranya; SD Takhassus Al-Qur'an, Darul Aitam, Menara Masjid Baiturrochim, dan gedung baru Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah. Beliau juga mendirikan kelas jauh diantaranya adalah : SMA Takhassus Al-Qur'an di Kepil, SMP + SMA Takhassus Al-Qur'an di Ndero duwur plus Pondok pesantren tanpa pemungutan biaya, Pondok Pesantren + SMA dan SMP Takhassus Al-Qur'an di Kalimantan barat, SMP TAQ Di Majalengka, di Tumiyang Purwokerto, di Buntu Banyumas, serta di Baran Gunung Ambarawa, dan masih banyak lagi. Satu cita-cita beliau yang belum terrealisasi adalah menjadikan Kalibeber sebagai "Semacam Vatikan" di Indonesia. Dimana nanti setiap fatwa dari kalibeber akan di patuhi oleh semua pemeluk islam diseantereo Nusantara.
3. Perjuangan Organisasi
Dalam bidang organisasi beliau aktif di Mabarot. Dan selanjutnya aktif di Tanfidziyah Ranting kalibeber, sekretaris MWC Mojotengah. Tercatat mulai Tahun 1996 sampai sekarang beliau aktif sebagai Mustasyar NU cabang Wonosobo. Dulunya Beliau juga aktif dalam partai politik antara lain P3, Golkar dan PKB. Namun demi kemaslahatan umat mulai tahun 2004 hingga sekarang beliau netral. Selain itu beliau juga menjadi salah satu sesepuh di Kalibeber bahkan diWonosobo beliau termasuk salah satu Kiyai yang paling disegani.

DOWNLOAD YOU TUBE KE MP3

http://www.audiothief.com/id-id/Video

Hal ini YouTube ke MP3 converter online mengkonversi dan download semua video YouTube Anda. Ini download YouTube converter adalah tercepat di internet dan memberikan kualitas tertinggi file mp3 converter. Copy dan paste url video (YouTube url) di kotak download dan converter mp3 akan mengkonversi video youtube ke mp3. Dengan downloader YouTube Anda dapat memotong mp3 yang Anda download dari YouTube dan mengedit ID3-tag dari video dikonversi dan download YouTube. Anda bisa melakukannya setelah Anda mengkonversi video YouTube. Semua video dikonversi ke file mp3 sekarang dapat dengan mudah diatur dalam perpustakaan musik Anda. Ini layanan dari AudioThief bebas dan cepat! Konversi bahagia!

Rabu, 22 Februari 2012

NONBAR SERIE A [Milan vs Juve]


Pertandingan bigmatch akan tersaji pekan depan di Seri A. Juventus akan berhadapan dengan AC Milan yang kemungkinan bisa menentukan siapa peraihScudetto.

JCI Chapter Wonosobo menundang para JUVENTINI untuk bergabung dalam NONBAR AC MILAN vs JUVENTUS

Tanggal : 26 Februari 2012
Pukul : 02.45 WIB
Tempat : Tazaka.net [Selatan 1/4-an Kalibeber]

JUVENTUS PER SEMPRE

Selasa, 21 Februari 2012

CERPEN : Secangkir Kopi



Secangkir Kopi


Pertama kali dia minum kopi di warung itu, dia langsung menyanjung-nyanjung Paryati si pemilik warung karena bisa menyeduhkan kopi kental manis yang pas dengan kesukaannya. Dia tertawa lebar dan tak henti-hentinya menggoda Paryati dan pemilik warung ini kempis-kempis hidungnya yang pesek itu merasa sangat tersanjung. Suaminya yang cuma pembantu nelayan itu tak pernah menyanjung dia habis-habisan seperti laki-laki ini. Maka kalau laki-laki ini datang ke warungnya dan memesan kopi, Paryati cepat sekali melayaninya, lalu duduk malu-malu tak jauh dari meja tempat laki-laki itu menikmati kopi seduhannya.

Sebenarnya dia adalah laki-laki yang tak dikenal yang tiba-tiba muncul di dusun kecil tepi pantai ini. Paryati pun belum sempat menanyakan siapa dia dan dari mana asalnya, apa tujuannya ke dusun ini? Perempuan dusun itu tidak berani banyak bertanya karena takut dibilang tidak sopan. Dia juga tidak ingat untuk memperkenalkan diri dan bercerita tentang asal-usul serta tujuannya. Orang-orang di dusun ini terlalu ramah, cepat akrab, sehingga meskipun belum lama tapi sudah merasa seperti di rumah sendiri. Dia juga punya penampilan yang tidak mencurigakan, dan mudah akrab dengan siapa saja.

Pada hari lain Paryati kehabisan gula, maka perempuan ini hanya bisa menyuguhkan kopi pahit. Dia tidak marah dan bertanya kenapa Paryati tidak membeli gula? Dia tetap memuji-muji Paryati, walau kopinya pahit, toh Paryati tetap manis. Tentu saja isteri jurumudi perahu nelayan ini jengah tapi hatinya berbunga-bunga. Dia jarang melihat laki-laki yang bertubuh gagah, berkulit kuning bersih, wajahnya tentu saja tampan. Jelas laki-laki bukan orang sembarang, entah kenapa mau mampir di warungnya yang sangat tak layak itu?

“Kalau tidak punya uang untuk beli gula, bilang saja sama aku. Berapa perlumu untuk beli gula?” katanya sambil tetap menyeruput kopi pahit.

Paryati cuma tersenyum. Dia menyodorkan beberapa lembar uang berwarna.

“Uangku habis karena harus membayar dokter kemarin untuk memeriksakan anakku sakit, juga untuk membeli obat,” ujar Paryati dan mengambil uang yang disodorkan laki-laki itu di meja. Sejak kedatangan laki-laki ini Paryati merasa sejahtera dan baru sekarang bisa memegang, bahkan memiliki lembaran-lembaran uang berwarna merah itu.

Dia mengangguk-angguk, menyeruput kopi pahit itu lagi. Lalu mengalihkan pandangan ke laut lepas, menatap cakrawala yang dilatari perahu-perahu nelayan, terombang-ombing dipermainkan angin. Di sudut mana pun dunia ini, pemandangan pantai dan laut selalu indah. Pantai dengan pasir dan pohon-pohon selalu dibelai oleh laut dengan ombaknya yang mengalun, kadang ombak-ombak itu keras menerjang, memecah kesunyian.

Dia menyulut sebatang rokok, menghembuskan asap, lalu menyeruput lagi kopi pahitnya. Paryati telah menyelinap ke dalam dan lembaran uang tadi dia selipkan di kutangnya sehingga buah dadanya sedikit terganjal. Lalu Tarman suaminnya tampak sibuk dan tergesa-gesa ke belakang. Dia tahu suaminya itu akan segera melaut, sarapan paginya sudah dihabiskan.

“Aku pergi bu…” ujar suaminya.

Seperti sudah sangat biasa, pamitan pagi itu pun hanya pemberitahuan saja. Paryati tak merasa perlu untuk menjawab suaminya, kecuali secuil senyuman enteng di sudut bibirnya. Setelah itu Paryati keluar lagi dan sengaja membuka beberapa kancing bajunya. Begitu Paryati bermain mata di depan pintu, dia sudah mengerti isyarat itu. Dia berdiri dan menyerbu masuk. Kedua makhluk itu langsung berpelukan, saling memagut, lalu bergulingan. Lalu desah nafas-nafas itu seperti mengikuti irama ombak menuju pasang. Perahu-perahu nelayan pun terus menjauh dari pantai.

***

Secangkir kopi kental manis selalu tetap terhidang di meja pojok warung bambu itu. Telah beberapa hari, beberapa minggu dan bulan, kopi kental manis itu dingin saja di sana. Laki-laki itu tiba-tiba tidak muncul dan tidak muncul juga. Tapi Paryati setiap pagi selalu tetap menghidangkan kopi kental manis di meja itu. Sore hari kopi itu akan di minum Tarman suaminya yang pulang melaut.

“Barangkali dia tidak akan kembali ke sini lagi? Laki-laki aneh yang kita tidak tahu asal-usulnya dan tujuannya ke pantai ini,” ujar Tarman ketika dia tanpa sungkan mengambil cangkir kopi kental manis itu lalu menyeruputnya di bawah sinar lampu listrik 10 watt yang temaram.

“Emang gue pikirin….” ujar Paryati pura-pura marah pakai gaya bahasa anak muda.

Laut telah mengajari Tarman untuk melembutkan hati. Setiap kali ketika melaut sambil mengemudikan mesin perahu, ia sering bertanya apakah di dasarnya sana laut tetap berwarna biru? Tapi laut kadang membuatnya gembira karena memberinya banyak ikan, kadang juga laut membuatnya sedih karena ikan-ikan seperti menghilang di laut lepas.

Paryati beringsut masuk ke kamarnya. Gula sudah habis lagi. Besok dia masih bisa menyeduhkan kopi tanpa gula. Tapi kopi pun kini tinggal sedikit. Tarman meneguk sisa-sisa kopi di cangkir lalu berdiri. Sebenar kemudian dia pamit pada Paryati.

“Aku mau main ke rumah Pak Joko ya bu…?” ujar Tarman tanpa menunggu jawaban isterinya.

Paryati cuma menatap diam kepergian suaminya yang sebentar kemudian hilang dalam keremangan dusun pantai itu. Suara desah ombak tak pernah berhenti dibawa angin menyaputkan dingin. Paryati merebahkan dirinya di ranjang, di tempat tidur yang lain, anak perempuannya Sumi yang baru berumur 3 tahun telah terlelap sendiri dari tadi.

Sayup pelan suara musik gamelan mengalun dari rumah Pak Joko, tempat Tarman ikut sibuk menggesek kawat-kawat rebab yang parau. Membuat malam menjadi gemulai dan lamban.

Melewati malam yang lamban membuat Paryati terlambat bangun. Ia terbangun sudah agak kesiangan itu pun karena mendengar rengekan anaknya Sumi yang duduk di sebelahnya. Dia tidak melihat Tarman suaminya, mungkin sudah melaut? Diraihnya anak perempuan berumur 3 tahun itu, digendongnya ke luar kamar. Dia ingat belum masak air untuk menyeduhkan kopi. Segera saja setelah mendudukkan Sumi di amben bambu di dapur, lalu membuat api, mengisi ceret dengan air. Ia menjerang air sambil membelai-belai anaknya Sumi. Anak itu kembali merengek dan Paryati tahu anak itu pasti lapar dan ingin makan.

Tidak berapa lama di meja yang biasa telah terhidang secangkir kopi. Setelah meletakkan secangkir kopi di meja itu, Paryati memberi makan anaknya dan mandi bersih. Meski pantai ini belum begitu dikenal oleh para pelancong, tapi sudah banyak juga yang suka berwisata ke sini. Sudah banyak juga warung-warung makan yang lain didirikan untuk melayani para pelancong, bahkan penginapan yang sederhana pun sudah tersedia pula bagi yang ingin menginap. Warung makan Paryati sering juga jadi tempat istirahat para pelancong. Paryati kini telah siap melayani pelancong yang ingin mampir di warungnya.

Paryati duduk menunggu pelancong yang mau mampir ke warungnya. Sumi, anak perempuannya bermain sendiri. Paryati menatap termangu ke arah pelancong yang lalu lalang di depan warungnya. Orang-orang yang berwajah ceria, ada yang berpeluk-pelukan seperti sedang berpacaran. Paryati tetap melamun ketika beberapa anak muda masuk ke warungnya dan memesan minuman.

“Boleh duduk di sini bu?” ujar salah seorang anak muda itu sambil menunjuk ke arah meja yang ada secangkir kopi di atasnya.

“Oh boleh, boleh…” ujar Paryati tergagap dari lamunannya.

“Ini kopi siapa?” ujar anak itu pula.

“Oh ini tadi pesanan seseorang, tapi entah kemana dia sekarang?” ujar Paryati bergegas mengambil cangkir kopi itu dan memindahkannya ke tempat lain. Sekilas dia ingat laki-laki itu dengan perasaan menyesal, tapi beberapa detik berlalu, cangkir itu terguling dari tempatnya dan tumpah. Angin pantai mendesah, menjauh perlahan ke arah yang tidak diketahui. Anak-anak muda yang kehausan itu riuh, minta Paryati cepat menyiapkan pesanannya. Kesibukan warung yang membuat Paryati masih punya harapan karena itu dia tetap berusaha melayani pembelinya dengan baik. Paryati tersenyum.

***

Di sebuah penjara kokoh di kota, detik-detik waktu sama lambannya seperti di pantai itu. Tiga tahun mendekam dalam ruang pengap penjara penuh derita, tentu saja memberikan perobahan yang sangat tajam pada penampilan dirinya. Tubuh yang dulu gagah berdaging, kini terlihat lebih kurus dan pucat. Hanya saja penampilan yang terbiasa rapi dan bersih tetap tidak hilang darinya. Ketika semua urusan pembebasannya selesai, penjaga penjara membukakan pintu. Dia memang masih sempat berbasa-basi sebentar, setelah itu bersama isteri dan anak-anak yang menjemputnya, dengan cepat ia masuk ke mobil yang telah menunggunya sejak pagi. Dia pulang ke rumah, kembali ke keluarganya dalam kehidupan yang merdeka.

Ada rasa senang di hatinya karena telah mendapatkan kembali kebebasannya. Dia merasa telah bebas dari rasa bersalah karena telah menebusnya dengan kurungan penjara. Dia juga merasa sudah bebas dari rasa bersalah mengambil uang negara karena telah ditebusnya dengan semua hartanya yang disita pengadilan untuk dikembalikan kepada negara. Dia masih merasa beruntung karena masih ada tersisa sebuah rumah untuk tempat tinggal anak dan isterinya, juga sebuah mobil. Tapi tentu saja dia kini telah menjadi rakyat biasa, tak punya jabatan apa-apa.

“Sudahlah, sekarang bapak lupakan saja semua yang telah lalu. Terserah bapak mau cari kesibukan apa, kalau bapak malu tinggal di kota ini, kita bisa pindah ke kota lain, atau kemana saja. Ibu menurut saja pada kemauan bapak…”, ujar isterinya sejenak ketika mobil yang membawanya meluncur pulang dari penjara.

”Dibicarakan nanti saja bu, yang penting bapak pulang dulu ke rumah dan istirahat, menenangkan diri. Beri bapak kesempatan untuk berpikir,” ujar salah seorang anaknya yang ikut menjemput

Dia mengangguk-angguk kecil seperti membenarkan kata-kata anaknya. Mobil yang menjemputnya terus meluncur makin menjauhi penjara celaka itu.

“Jangan pernah lagi hidup dalam penjara….! katanya dalam hati penuh penyesalan. Isterinya menyandarkan kepala di pundaknya dengan perasaan sangat tenang. Setenang pantai di dusun sana yang bayangannya tiba-tiba menyeruak di benaknya.

“Apa kabar pantaiku?” bisiknya dalam hati, 3 tahun lamanya dia tidak melihat pantai itu tanpa berkabar. Tiga tahun lalu dia pun pergi saja meninggalkan pantai itu tanpa pesan apa-apa? Dia ingin ke pantai itu, dia ingin sekali menghirup kopi kental manis di sana.

“Alangkah kangennya?” bisiknya pula dalam hati yang bergetar-getar.

***

ia telah mendapatkan kembali kebebasannya dengan tebusan kurungan penjara dan harta bendanya untuk mengganti kerugian negara yang pernah dia ambil. Dia memang menyesal telah melanggar hukum dan kini kehilangan pekerjaan dan jabatan.

“Tapi aku tak boleh kehilangan harapan!” ujarnya sambil menapaki pasir pantai dan ingat kata-kata isterinya bahwa dirinya memang tak boleh kehilangan harapan. Dia masih muda, masih punya harapan.

Dia melihat warung itu masih tetap berdiri di tepi pantai itu. Ada luapan kegembiraan yang mendorong dia melangkah lebih cepat. Siang mulai merambat naik, angin mulai berhembus kencang tanda laut akan pasang. Di tengah laut yang jauh perahu-perahu nelayan berseliweran, terombang-ambing oleh ombak dan angin.

Hup, dia telah berdiri di depan warung itu. Tiga tahun telah berlalu tapi tak ada yang berobah di sini. Meja tempat dia biasa duduk masih di tempatnya. Dia seperti melihat cangkir kopinya pun masih ada, mengepulkan asap memancing gairah.

“Mari pak, silakan….!” sambut seorang wanita dari dalam warung itu kepadanya.

“Ya, ya, yaaa…” katanya tergagap, lalu mencoba tersenyum.

“Apa mbak Paryati ada….? sambungnya sambil tetap berdiri di dekat meja itu.

“Oh, mbak Paryati yang punya warung ini dulu? Dia kan sekarang sudah tinggal bersama Pak Joko, itu di rumah besar itu…!” ujar wanita itu penuh tanda tanya ke wajahnya.

“Jadi warung ini bukan tempatnya lagi?”

“Warung ini sudah dijual kepada kami sejak suaminya yang dulu, Tarman, mati karam di laut,” ujar wanita itu pula.

“Ha, Tarman mati karam di laut?”

“Ya sudah lebih dari 2 tahun lalu, dan mbak Paryati kemudian dikawini Pak Joko yang juragan kaya itu. Daripada hidup menjanda, memang beruntung mbak Paryati bisa jadi bini juragan kaya. Lha, bapak ini siapa dan kenapa mencari mbak Paryati?” ujar wanita itu.

“Tidak, tidak apa-apa, saya dulu langganan minum kopi di sini. Ya, maaf mbak, terima kasih, saya harus pergi…” ujarnya kemudian berbalik. Kepalanya terasa agak berat membuat langkahnya sedikit gontai. Dia ingin sekali minum secangkir kopi kental manis agar bisa melangkah lebih tegak di pantai itu. Tapi yang bisa dia lakukan cuma berbalik menjauh dan angin laut makin kencang meniup ke pantai, makin bergemuruh pula ombak-ombak menerjang.

***

Cerpen Aku dan Perempuan Anganku



Aku & Perempuan Anganku


11.54 malam hari, aku baru menyelesaikan sebuah naskah dan mengirimkannya melalui email ke sebuah media. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, sebotol obat tukak lambung, dan sebuah asbak dengan satu, dua, tiga, hmm….tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku.

Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Sementara perempuanku sudah sejak tadi lena berpelukan dengan gulingnya. Buat aku, tidak terlalu penting, apakah aku harus tidur di sofa atau di ranjang yang sama dengan perempuanku.

Sebetulnya, perempuanku tidak terlalu suka tidur seranjang denganku. Begitu pula aku. Menurutku, ia terlalu banyak aturan. Sedangkan menurutnya, aku terlalu jorok. Ia selalu menyuruhku mencuci muka, tangan dan kaki, menggosok gigi, memakai kaos dan celana tidur, lalu mengecupnya dan mengucapkan "Have a nice dream, honey…" Bah! Ia memperlakukan aku seperti anak lima tahun! Bukankah lebih nyaman menyelonjorkan tubuh dengan posisi seenaknya di atas sofa, dengan perasaan puas karena aku telah menyelesaikan sebuah naskah yang baik, walaupun itu tanpa menggosok gigi dan mencuci muka, tangan, kaki, lalu mengucapkan "Selamat tidur, sayang…" kepada angan-angan?

Angan-angan?

Hm…aku meletakkan kedua lenganku di belakang kepala.

Angan-angan?

Hm…aku memasuki sebuah café di sebuah plaza di tengah kota Surabaya di sepotong senja kelabu yang bergerimis. Hanya beberapa orang duduk di dalam café itu. Sepi. Sayup-sayup When I Need You mengalun dari suara Julio Iglisias.

Angan-angan?

Hm…aku melihat seseorang perempuan duduk di meja paling sudut di dekat jendela kaca. Ia memandang rinai gerimis seakan-akan menghitung jarum-jarum air yang turun satu per satu itu dengan tatapan kosong. Wajahnya cantik tetapi muram. Tubuhnya molek tetapi bahasa tubuhnya jelek sekali. Ia menggigiti ujung jari-jarinya, ia juga mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, ia juga gelisah bergantian menyilangkan kedua belah betisnya yang langsing.

Angan-angan?

Hm…aku berjalan menuju perempuan itu.

"Kenapa kau masih di sini?" tanyaku pada perempuan itu.

Ia menoleh. Tersenyum. Tetapi tetap muram. "Menunggumu. Akhirnya kamu datang juga," jawabnya gamang.

"Sudah lama?"

"Lama sekali. Bahkan hampir putus asa menunggumu."

"Lalu kenapa terus menunggu?"

"Karena aku yakin kamu pasti datang. Karena aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu. Karena aku sudah berjanji selalu berada di sisimu."

"Ah…," aku menghela napas dan kemudian duduk di depannya.

"Kenapa kau lakukan itu? Aku sudah dimiliki seorang perempuan," kataku sambil memandangnya lekat-lekat.

Ia mengangkat bahu. "Kalau aku jawab karena aku cinta padamu…, mungkin akan sangat terdengar klise. Kamu sudah pasti menulis terlalu banyak untuk sebuah kata cinta. Kalau aku jawab karena aku percaya padamu, mungkin akan sangat terdengar tolol. Kenapa bisa percaya kepada laki-laki yang telah memiliki dan dimiliki perempuan lain. Lalu menurutmu, aku harus menjawab apa?" ia balik bertanya.

"Jawab saja sesuai kata hatimu. Bukankah kata hati adalah suara yang paling jujur?"

"Hm…," ia bergumam agak panjang sambil menghirup float avocado di depannya. "Karena ngeri sekali rasanya membayangkan bila harus kehilangan dirimu," jawabnya lugu tetapi menyentuh perasaanku.

"Kenapa aku?"

"Karena kamu memberikan rasa nyaman," sahutnya cepat.

"Apakah kamu merasa nyaman menungguku sekian lama?"

"Tidak."

"Lalu?"

Ia menikam manik mataku dengan tatapannya yang murung. "Tahukah kamu, kalau kangen itu adalah luka yang paling nikmat?"

"Ah, sejak kapan kamu jadi puitis?"

"Sejak bersamamu."

Aku tertawa kecil. Bersama perempuan ini memang mengasyikkan.

Jeda sejenak ketika aku memesan fruit punch kesukaanku.

"Fruit punch? Cold? Tidak kedinginan? Di luar hujan. Apakah tidak lebih baik memesan cappuccino?" sergah perempuan itu.

"Kamu selalu membuatku merasa hangat," sahutku.

Olala, benarkah kata-kata pujangga bahwa dunia bisa terbalik kalau sedang jatuh cinta? Panas jadi dingin dan dingin jadi panas? Malam jadi siang dan siang jadi malam? Ah, itu kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang tepat! Sergahku dalam hati. Bagaimana kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang salah? Alamak, mungkin siang malam akan menjadi panas dingin.

Telepon selularnya yang tergeletak di atas meja mendadak mengeluarkan bunyi ’mengeong’.

"Siapa?" aku bertanya tanpa mampu menahan tawa. Jarang sekali aku mendengar ring tone mengeong seekor kucing.

Ia bergerak menekan tombol view lalu memperlihatkan message di layar kepadaku: ’elu di mna, honey? Gw lagi di Palem café Plaza Senayan. Kpn mo ke jkt? Gw yg atur semuanya deh. Kgen mo refreshing ma elu :)’

"Seekor kucing yang kesepian…," sahutnya dengan nada sumbang.

"Seekor kucing?"

"Seorang laki-laki yang kesepian," ia mengulangi kata-katanya.

"Tadi kamu bilang seekor kucing yang kesepian."

"Laki-laki sama seperti seekor kucing. Licik," sahutnya enteng. "Seekor kucing yang mengeong-ngeong minta dipangku dan dielus-elus tengkuknya. Lalu ia merem melek tidur di pangkuan. Tetapi ketika tetangga sebelah menawarkan seekor pindang, dengan mudahnya ia mengeong, mengendus, dan menjilat kepada tetangga sebelah," sahutnya sejurus setelah menghirup float avocado lagi.

Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Masa sampai seperti itu?"

Ia mengangguk-angguk. Lidahnya yang merah terlihat seksi ketika ia menjilati bibirnya yang indah. "Ya, semua kucing seperti itu. Entah itu kucing Persia, kucing Siam, kucing angora, atau bahkan hanya kucing kampung. Kucing mudah tergoda dengan pindang, empal, hati, atau apa saja. Bahkan kalau tidak ada yang menawari, maka sang kucing akan mencari-cari kesempatan untuk mencuri di atas meja makan, di lemari dapur, atau bahkan mengais-ngais tempat sampah!" ujarnya pelan tetapi terasa ketus.

Aku ikut mengangguk-angguk. Ketika fruit punch-ku datang, kuhirup dulu. Rasa asam dan kecut terasa menyegarkan lidah dan tenggorokanku. Walaupun ujung hidungku juga membias dingin seperti embun yang mengkristal di badan gelas. Lalu aku menyalakan sebatang rokok kretek. Menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskannya kuat-kuat. Rokok selalu membuatku merasa lebih tenang. Terlebih lagi jika aku berhadapan dengan perempuan ini.

"Hm…itu laki-laki ya. Laki-laki seperti kucing. Bagaimana kalau perempuan?" tanyaku sejurus kemudian.

"Perempuan seperti anjing…"

"Anjing?!" aku terpana.

"Ya, setia seperti anjing. Apa pun anjing itu. Anjing herder, anjing peking, anjing cow-cow, atau anjing kampung sekalipun, ia akan tetap duduk setia menunggu pintu sampai tuannya pulang ke rumah. Ia tidak akan makan pemberian tetangga sebelah. Anjing hanya memakan yang disodorkan tuannya. Ia tidak akan mencuri-curi kesempatan. Bahkan terkadang, tuannya sudah bosan dan mengusirnya sambil melemparnya dengan sepatu, sang anjing masih kembali menjaga pintu rumah tuannya," ia bicara panjang sambil tertawa.

"Ada sebuah cerita yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak. Seekor anjing setiap pagi mengantarkan tuannya ke stasiun kereta dan setiap sore menjemput tuannya di stasiun kereta. Suatu hari, tuannya meninggal di jalan dan tidak pulang kembali. Sang anjing tetap menunggu tuannya di stasiun kereta itu sampai mati pula di dalam penantiannya di stasiun itu."

"Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik.

"Hm, menurutku ironis!" sahutku.

Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang. Tawa panjangnya memenuhi ruangan café, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokan-selokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di sepanjang lorong hatiku.

"Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau dan aku."

"Kita?"

"Ya. Kita. Kau dan aku."

"Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti.

"Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau."

"Hah?"

"Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di café. Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu. Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu."

"Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini cuma halusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi."

"Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu."

"Deja-vu?!" seruku tidak percaya.

"Kau siapa?" aku masih bertanya.

"Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada."

"Aku siapa?" tanyaku lagi.

"Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita."

"Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu. Sekarang kita ber-deja-vu?"

"Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunia lain.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?"

"Bagaimana dengan perempuanmu?"

"Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku."

Dia tertawa manis. "Dasar kucing."

"Meonggg…," sahutku.

Lagi-lagi ia tertawa. "Hai, alangkah baiknya kalau perempuan tidak lagi menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’anjing kau!’. Bukankah semestinya perempuan menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’kucing kau!’. Bagaimana menurutmu?"

"Meonggg…," sahutku lagi mengeong seperti seekor kucing yang sedang birahi.

"Kamu birahi ya? Horny, darling?"

"Meonggg…"

Aku menariknya ke dalam pelukanku di dalam angan-angan.

Dan aku orgasme ketika menyelesaikannya di dalam sebuah tulisan.

Akhirnya aku beranjak menuju kamar mandi untuk melakukan ritual perempuanku; mencuci tangan, kaki, muka dan menggosok gigi. Bah!

Ketika selesai kubasuh wajahku, aku tengadah melihat pantulan diriku di cermin di atas toilet.

Olala!

Aku separuh perempuan, separuh laki-laki.

Astaga!

Wajahku separuh anjing , separuh kucing.

Alamak!

Aku separuh menggonggong , separuh mengeong.

Ber-deja-vu-kah aku? ***

Cerpen Jangan Main-Main dengan Perempuan!



Jangan Main-Main dengan Perempuan!


Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku. Ia bebas!
"Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" mendadak saja ia sudah mendelik di depanku.
"Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang.

Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku! Jadi bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang akan aku tulis.

Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu mengusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni dari jari-jemariku sendiri.

Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun!
Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya, kusimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu! Tidak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggambarkan otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer.

Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata, tidak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku ketika aku membutuhkannya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda hidupnya kubuat jalan di tempat.

Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut yang memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan menyulam semangatnya yang hilang.

"Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku mengelegar kali ini.
Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard tuts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku menyadari perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di bibirnya sudah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua. Dan…lidahnya berapi!

Astaga!
Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan organ-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu…

"Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia bertanya dengan ketus.
Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan semangatnya. Semua masih ada di tempatnya.

"Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat baru?" Ia bertanya dengan nada mencemooh.
Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku masih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah.

"Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira semudah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri.
"Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa.

Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa seperti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa perempuanku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu.

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.
"Apa?!"

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu..."

"Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup laptopmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya seperti seorang juragan.

Nah…nah…nah…, inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun lalu. Ia benar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan, seorang direktur, kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya.

Tetapi, tidak aku!
Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati dari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya.

Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya yang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula.

"Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya.
"Aku tidak bisa..."

"Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah terlalu lama perempuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua iklan di televisi, mulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang bulan sampai obat panu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi.

"Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan menarik."
"Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik? Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja mempelajari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara riil. Dokter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora, labia minora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan untuk proses inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di kemudian hari, dengan alasan kemajuan ilmu kedokteran."

"Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga..."
"Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang.
Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara.

"Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa menjadikan alasan bagi laki-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki yang impoten, azospermia, ejakulasi dini, atau apa saja namanya..., bisakah dijadikan alasan buat perempuan kawin lagi? Di mana hukum perkawinan kita menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"

"Ah…kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran Hotel Indonesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi perempuan," aku mulai kalah omong.

Nah…nah…nah…, wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu? Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar membuat posisi laki-laki berbahaya.

"Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan koran masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et repertum vagina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan dibuang. Kenapa tidak pernah ada berita seperti ini...hm..." Ia kelihatan berpikir sejenak. "Begini...: Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang dengan bagian-bagian tubuh terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya, dan menggigit penis yang dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?"

Huek!
Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh.

Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata lagi, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin tenggorokannya.

Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau mungkin aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak mengenal makna tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak kenal dengan perempuanku sendirikah?

Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil sebatang rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi.

"Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang perempuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang untuk sembunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga kelaminnya!"

"Ng… karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia menangis juga menarik, ia telanjang…apalagi. Menarik sekali!"
"Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan."

"Karena menelanjangi perempuan itu nikmat."
"Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya, kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya seperti peluru keluar dari moncong senapan.

Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif kereta api.

Aku terdiam.
"Atau... karena kalian cuma main-main dengan perempuan..." Ia menutup kata-kata dengan nada sumbang.

Mungkin ya.
Mungkin?

Ya. Mungkin.
Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan mainan kata-kata, mainan imajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi jika ternyata "permainan" dengan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan seperti yang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu harus meletakkan masalahnya di mana.

Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan? Atau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika dipergunakan sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan berharga dari segala segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai kepada para pujangga dan seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat rendah sehingga tidak mempunyai persamaan hak di dalam hukum dan seks?

Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga atau rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia ingin mengganti posisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum laki-laki akan memasungnya. Karena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan menjadi "subyek" maka ia akan membahayakan posisi laki-laki.

Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan, ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga!
Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan berkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini…"

Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya yang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih merasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan.

Aku gemetar.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan..." ***

Cerpen Kopi Seledri



Kopi Seledri

Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangkir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan terompet Miles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah?

Hidup kita memang penuh kenangan. Sebuah kisah sambung-menyambung dengan kisah lain. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga kita selalu menginginkan kenangan itu datang lagi. Kadang pula tercabik di sana-sini, dan meninggalkan perih yang mengiris. Aku ingin menjadi bagian dari kenangan itu, sepotong scene dalam kehidupanmu tanpa harus tahu akan kau letakkan di mana intro, reffrain, atau ending? Atau mungkin menjadi bagian interlude yang bisa timbul-tenggelam?

Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di saat malam sangat senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas. Kenangan sering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu saja. Atau mungkin beringsut, ngendon sekian lama, membentuk sebuah gambar di bingkai kaca, dan melambai-lambai bak fatamorgana. Kenangan memang maya, tapi kita sering ditarik dalam alam nyata.

Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang pernah ada, membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir mungil kopi seledri. Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Bersama pendar-pendar bola matamu yang kadang tampil malu-malu. Bersama sekulum senyummu yang selalu dirindukan. Aku hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena pertemuan sudah menjadi sesuatu yang asing.

Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu adalah bening. Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. "Aku ingin bertemu denganmu besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku.

Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana?"

Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tmpt biasanya. Pokoknya sore selepas kerja."

Pertemuanku dengan Maya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan kembali dipertemukan oleh waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah merasa kalau kita sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa yang hanya bisa dikhayalkan, akhirnya bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti pertemuan dua muka, pertemuan dua telapak tangan, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa ditebak dan tak terukur.

Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena takdir itu sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaan (yang tersimpan bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu menghadirkan kembali di saat yang tepat. Sebuah takdir yang mampu membuat sebentuk pertemuan indah seperti pertemuan mentari dan batas cakarawala yang selalu menawarkan keindahan berbeda, saat pagi dan senja, dari hari ke hari.

Maya menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan seorang bankir pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan bankir lebih terjamin hidupnya, banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa: dekat wak haji bisa jadi santri, dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di bank berarti mandi uang. Tak peduli itu uang orang. Busyet!

Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari langit temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik merah-jingga di ufuk barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang melambai dan membentuk kotak-kotak keemasan di atas tanah. Aku pun membayangkan apa yang kau lakukan di sore yang indah ini? Apakah wajahmu sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu? Ataukah masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan berkata-kata?

Aku dan Maya punya tempat favorit. Sebuah kafe taman di kota ini. Tempat duduknya di ujung kanan, bukan paling pojok tapi nomor dua dari ujung, di bawah pohon jambu air yang satu-satunya tumbuh di taman itu. Dari tempat ini kami serasa mendapat ruang tersendiri meski jarak kursi lain tak jauh.

Di bawah pohon jambu yang tak juga tinggi, kini aku menunggu Maya, menunggu kenangan, dengan cemas dan penuh harap. Aku hendak menelepon, aku ingin memastikan pertemuan ini. Nomor ponselnya sudah tertera di layar. Namun dalam batin terjadi perang antara ’ya’ dan ’tidak’. Akhirnya aku pencet tombol merah, aku tak jadi meneleponnya. Aku hanya ingin dengar suaranya langsung dengan melihat bibirnya terbuka.

Sebuah pesan singkat masuk lagi: "Aku agak telat, ada rapat kecil evaluasi. Tunggu dulu…." Menunggu sebenarnya membosankan, tetapi menunggu kenangan adalah sebuah keasyikan. Aku segera me-replay: "Tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu."

Di ujung jalan terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai kisah hari ini. Mega-mega kuning memecah cakrawala. Sinar-sinarnya mulai membuncah, bergelora menyergap barisan para pekerja yang menyemut di jalanan. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin saja sedang bergegas menjemput istrinya. Mereka tampak sekali "bernafsu" ingin menaklukkan waktu. Mungkin mereka termasuk orang-orang yang mengkeret di sudut mata istrinya. Mungkin pula mereka takut karena istrinya baru saja lulus ujian sabuk hitam karate kyokushinkai. Yang jelas, mereka begitu takut dengan waktu (dan istrinya). Semua terlihat bergegas, berburu waktu. Itulah kota ini, ketika waktu sudah tak lagi cukup 24 jam.

Aku merasa tak pernah seperti mereka. Belum pernah aku bekerja seperti mesin waktu, berjalan normal dari pukul 09.00-17.00 WIB. Aku tak bisa seperti mereka ketika waktu bergerak selalu sama dari hari ke hari. Aku punya putaran waktu sendiri.

Waktu terus beringsut hingga berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya mentari mulai meredup digantikan sinar-sinar elektronik. Udara sedikit sejuk. Aku mulai resah. Sudah hampir satu jam aku menunggu tetapi tubuh semampai dengan balutan rok tiga perempat tak juga muncul. Aku masih ingat baunya. Ia suka wangi Obsession. Tetapi hingga detik ini ujung hidungku belum terbetik wangi itu. Aku tetap bertahan, sebuah pertemuan setelah tujuh tahun belum tentu kembali terulang. Jangankan pertemuan, bertukar suara saja tidak. Kurun sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini, selalu berjalan antara kejutan dan kenangan.

Jantungku berdegup semakin kencang. Pantatku mulai panas. Benakku terus dipenuhi pertanyaan: pertemuan ini jadi atau tidak? Apakah aku harus meninggalkan tempat ini?

Aku masih bertahan, dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal telah mengabur seiring langkah yang kian menjauh. Namun tetap menyilaukan, hingga aku tahu ke mana harus mencari titik-titik dirimu, antara senja dan malam berbintang.

Panggung kecil di tengah resto kebun itu mulai terang. Itu tanda pemusik yang memainkan nada-nada lembut siap beraksi. Hari itu Selasa, sebuah hari yang sebenarnya tak begitu pas untuk membuat kenangan tujuh tahun itu menjadi kenyataan. Tapi aku tak peduli. Aku terus menunggu, menunggu datangnya sebuah kenangan.

Aku dan Maya punya bayangan yang sama tentang masa lalu. Memendam kekaguman tanpa harus banyak bicara. Menyimpan rasa tanpa harus tahu ke mana jejaknya akan pergi. Tetapi apakah sebuah kekaguman itu harus dibicarakan? Aku rasa tidak. Rasa akan dijawab dengan rasa, jiwa akan dibalas dengan jiwa. Aku tak ingin orang lain menjadi elemen ketiga dari rasa kita, jiwa kita. Bukankah ini adalah rasa kita berdua? Bukankah ini jiwa kita berdua? Sebuah kekaguman, keinginan, rasa, dan jiwa yang kemudian dipertemukan. Aku ingin menikmati semuanya ini berdua, dengan rasa, dengan jiwa. Tanpa curiga, dan tanpa orang lain yang kadang tak paham dengan dunia kita.

Aku memesan kopi seledri, minuman kesukaan Maya. Selama ini bayangku tentang Maya hanya tertumpah dalam satu bentuk: kopi seledri. Aneh memang, tapi itulah kopi yang membuatku ingat padanya. Juga dengan kejap matanya ketika menghirup kepul uapnya. Sebenarnya itu adalah coffee mint. Tetapi ia lebih suka menyebutnya kopi seledri. Mungkin karena bentuk daun mint lebih mirip daun seledri.

Aku mulai tak sabar. Sayup-sayup terdengar intro Kenangan, lagu Bebi Romeo ketika ditinggal kekasihnya. Aku kirim SMS padanya: "Sudah sampai mana? Brp lama lagi aku harus menunggu?" Tak ada sepotong pun jawaban.

Mungkinkah dia terjebak macet hingga dua jam? Apakah rapat kantornya terlalu serius untuk diakhiri? Atau dia ditimpa kecelakaan lalu lintas? Dengan cepat aku menghapus bayangan buruk itu. Aku sahut cangkir, dan aku minum tiga teguk sekaligus.

Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu kuning benar meski bukan saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih yang mengikuti ke mana pun dia pergi. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keindahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku pun bertanya-tanya, apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Aku pun kembali bertanya, apakah di sana juga ada dua insan yang menyimpan kenangan dan memendam rindu?

Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan membuka games di ponsel. Aku memilih snake, aku ingin memperbaiki rekor yang masih 710. Tetapi pikiranku sudah telanjur kacau. Angka yang tercatat tak pernah lebih dari 400 sebelum game over.

Aku sudah benar-benar tak sabar. Penat dan gerah sudah semakin tak mampu kutahan. Batinku seakan mau marah. Ingin sekali aku meneleponnya dan memakinya sekalian. Tapi selalu tertahan. Haruskah aku marah pada sebuah kenangan yang indah? Amarah itu surut diterpa kelebat bayangmu, dengan rambut tersibak bak iklan shampo.

Kopi seledri di hadapanku tinggal separo. Aku semakin gelisah, ditingkahi amarah. Apakah dia akan mempermainkanku sekali lagi? Aku pandangi lekat-lekat keramik broken white dengan garis hijau di sampingnya. Masih sama persis dengan tujuh tahun lalu. Bentuknya manis, tapi aku tak yakin itu bikinan FX Wijayanto.

Darahku kembali naik ke otak. Hatiku mulai panas, tak seperti sisa kopi ini yang semakin dingin. Crazy milik Julio Iglesias yang mengalun lembut tak mampu melunakkan hatiku. Akhirnya aku kirim SMS lebih keras: "Kita jadi bertemu atau tidak?" Aku tunggu beberapa saat. Tak ada jawaban. Batinku menjadi hening, pikiranku melayang-layang. Semua panca inderaku seperti dikepung bayangan Maya. Muncul kerlip sesaat, dengan cepat kubuka, ternyata hasil report dari pesan yang lalu.

Aku masih menunggu dengan rona muka yang tak lagi secerah sore tadi. Waktu terus berputar. Tak juga ada jawaban.

Anganku buyar. Aku memandang sesaat kursi kayu di depanku, tempat duduk Maya tujuh tahun lalu, juga kopi seledri yang tinggal seteguk lagi.

Ponselku kembali bergetar. Aku tahu itu dari dia, mungkin tinggal beberapa langkah lagi ia akan di depanku. Dengan sigap aku buka inbox. Betul dari dia. Dunia benar-benar gelap. Aliran darah seakan berbalik arah. Seribu tanya yang berkubang di kepala berubah menjadi beku. Ia menulis singkat: "Aku tak jadi bertemu, itu selingkuh." (*)

Langkah Mudah Berhenti Merokok


Langkah Mudah Berhenti Merokok


Setelah sekian lama kamu mempunyai kebiasaan merokok ,menyebabkan kamu sulit sekali keluar dari kebiasaan ini. Berikut ini adalah 7 Cara untuk dapat segera Keluar dari kbiasaan Merokok yang saya percaya akan membantu kamu memfokuskan perhatian pada yang lebih sehat 'hidup setelah rokok.Salah satu yang terbaik menurut pengalama saya adalah dengan mencoba untuk mengidentifikasi hal yang paling utama yang menyebabkan kamu ingin rokok.
Buatlah catatan kebiasaan apa saja selama beberapa hari yang menyebabkan kamu terdorong atau tergiur untuk merokok.

Semakin banyak yang kamu dapat ketahui dari kebiasaan kamu yang lain, maka ia akan lebih mudah untuk kamu mengetahui apa saja pemicu kamu untuk merokok

Beberapa cara untuk segera berhenti merokok dengan mudah saya sampaikan dan berharap salah satu dari metode ini dapat membantu kamu membuang kebiasaan merokok untuk selamanya ;).

1. Membuat komitmen (janji) untuk diri sendiri bahwa kamu akan keluar. Jangan membuat janji rumit; hanya untuk keluar dari rencana dan janji untuk menjaga diri sendiri.

2. Catat semua alasan-alasan yang kamu ingin keluar pada lembar kertas catatan kamu; hanya latihan menulis ini akan membuat kamu mempunyai alasan untuk segera berhenti merokok dan manfaat yang diharapkan akan membuat kamu merasa yakin untuk segera keluar dari kebiasaan merokok yang mengikat..

3. Membersihkan lingkungan kamar dan seluruh ruangan dirumah dari perlengkapan merokok ,seperti asbak, pemantik rokok, box rokok, bungkus rokok yang tersisa di meja dsb.

4. Melakukan Olah Raga secara teratur terutama olah raga jenis senam pernapasan , bukan olah raga pernapasan untuk kekuatan mematahkan benda keras lho...;)

5. Secara sadar hindari tempat-tempat kebiasaan kamu untuk merokok ,atau tempat yang dapat memicu kamu untuk merokok.



6. Jika datang keinginan untuk merokok yang sangat kuat,alihkanlah pikiran kamu dengan cara bahwa kamu sebenar haus bukan ingin merokok, dan ambilah segelas air...dan minumlah..

7. Biarkan semua orang tahu kamu telah Berhenti Merokok!. sehingga teman-teman akan mendukung tekad kamu untuk berhenti merokok .keluarga dan teman-teman kamu akan menjadi sumber dukungan yang sangat luar biasa. Tetapkan dan laksanakanlah dengan mantap Hari bersejarah kamu Berhenti Merokok...,bila perlu Rayakanlah....dengan Keluarga,Sahabat dan handai tolan.......

PERINGATAN MAULUD NABI DAN TEKS AL-BARZANJI




PERINGATAN MAULUD NABI
DAN TEKS AL-BARZANJI


I.                   PENDAHULUAN
Maulid sering disebut ‘maulud’ yang berarti ‘tempat atau saat kelahiran’. Dalam kehidupan kaum muslim yang dimaksud dengan maulid adalah kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada 12 Rabi’ul Awwal 570 M, dan bulan itu disebut bulan Maulid atau bulan Mulud (Jawa).
Sejak awal peringatan Maulid Nabi SAW itu diperkenalkan pertama kali oleh penguasa Dinasti Fatimiyah (341 H/953 M – 365 H/975 M) sudah menuai pro dan kontra. Oleh karena peringatan seperti itu belum/tidak pernah dilakukan oleh Nabi sendiri dan sahabat-sahabatnya. Artinya, aktivitas tersebut adalah rekayasa manusia yang mentradisi di kalangan umat muslim. Oleh karena tradisi, tentu ada yang setuju dan tidak berdasarkan dalil, baik berupa Nash al-Qur’an dan sunnah maupun dalil fakta lapangan terkait pelaksanaan peringatan itu sendiri. Persoalan ini menjadi menarik dibahas karena ritual adat/’urf.[1] seperti ini tidak dapat dipungkiri merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan kaum muslim sendiri, bahkan oleh suatu kelompok diyakini sebagai manifestasi keyakinan dan digunakan sebagai syiar Islam khas daerah tertentu. Pertanyaannya, bagaimana dalil yang digunakan masing-masing pendapat itu relevansinya dengan hukum boleh tidaknya peringatan Maulid Nabi? Dan bagaimana pula batas kebolehan dan ketidakbolehannya?

II.                PEMBAHASAN
1.      Sejarah Peringatan Maulid dan Tujuannya
Salah satu hari besar Islam yang diperingati setiap tahun adalah kelahiran Nabi Muhammad SAW pada Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah / 20 April 570 M. yang disebut juga Maulud Nabi. Kelahiran Nabi SAW disebut tahun Gajah karena pada saat itu pasukan Abrahah, Gubernur Kerajaan Habasyah (Ethiopia) datang dengan menunggang gajah menyerbu Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah. Sebenarnya, selain Idul Fitri dan Idul Adha, dalam al-Qur’an dan Hadis tidak ditemukan perintah merayakan hari besar Islam lain, seperti Maulid Nabi.[2]
Informasi bahwa kaum muslim merayakan peringatan Maulid Nabi SAW tidak ditemukan dalam sejarah Islam periode awal, tetapi perintah untuk mengambil pelajaran dari peristiwa atau kejadian masa lalu ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri berisi banyak kisah masa silam yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan pelajaran. Sebagaimana kisah-kisah al-Qur’an, peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam dan berhubungan dengan ajaran Islam juga banyak mengandung pelajaran. Oleh karena itu, perayaan hari-hari besar termasuk Maulid Nabi SAW adalah salah satu upaya kaum muslim untuk mengambil pelajaran.
Dalam sejarah Islam, perayaan Maulid Nabi untuk pertama kali diselenggarakan penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu pada masa pemerintahan Abu Tamim yang bergelar al-Mu’izz li Din Allah (yang membuat agama Allah jaya) (953 – 975 M). Perayaan Maulid Nabi dan perayaan hari besar lainnya dilakukan dengan maksud agar menjadi penguasa popular di kalangan Syi’ah. Dalam ‘paket’ perayaan Maulid Nabi itu, penguasa Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut untuk memberi hadiah kepada orang tertentu, seperti penjaga masjid, perawat makam ahl al-bait, dan para pejabat.[3]  Selain untuk tujuan popularitas, peringatan Maulid Nabi juga dimaksudkan sebagai penegasan hubungan geneologi untuk mengesahkan ‘hak’ keluarga Fatimiyah sebagai “pewaris kekuasaan politik” Nabi Muhammad SAW.[4]
Setelah Dinasti Fatimiyah berakhir dan digantikan Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sangat ketat menganut aliran Sunni, maka peringatan Maulid Nabi terus dilestarikan. Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193), penguasa pertama dinasti ini, memanfaatkan perayaan Maulid Nabi untuk membakar semangat jihad kaum muslim dalam menghadapi peperangan hebat melawan kaum salib.
Di luar Mesir, perayaan Maulid Nabi pertama kali diselenggarakan di Mosul, Irak. Di sana hidup seorang ulama besar bernama Umar al-Malla, ahli ilmu al-Qur’an dan Hadis. Setiap tahun ia mengundang ulama serta penguasa dan pembesar negara berkumpul di kediamannya untuk merayakan hari kelahiran Nabi SAW. Perayaan tersebut diisi dengan membaca syair-syair pujian akan keagungan Nabi Muhammad SAW. Salah satu undangannya adalah Nurudin Zangi (w.596 H/1200 M), Sultan Dinasti Atabeg di Suriah yang menganut aliran Sunni.
Di Maroko, kalangan sufi memandang peringatan Maulid Nabi dalam hirarki hari besar Islam sebagai yang kedua setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam perayaan itu, syair mistis dan prosesi para darwis (pengikut tarekat), seperti tarekat Isawiyah dan Hamadza, kadang-kadang menjadi bagian integral peringatan Maulid Nabi. Seringkali perayaan seperti ini berakhir dengan tidak sadarkan diri, yang bagi golongan lain dianggap tidak sesuai dengan watak dan misi peringatan itu.
Di Mesir pada masa Dinasti Mamluk (abad 14 dan 15), peringatan Maulid Nabi diadakan dengan mewah dan megah. Dalam acara itu sultan membagi-bagikan pundi-pundi dan kue kepada para ulama. Pada abad ke-19 M kerajaan Islam di Mesir mengadakan peringatan Maulid Nabi di sebuah taman. Dalam kesempatan itu dibacakan syair berseloka yang mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Di Hyderabad (Pakistan), untuk merayakan Maulid Nabi, dimainkan genderang dan terompet selama 12 hari pertama bulan Rabiul Awal. Setelah diadakan ceramah dalam acara puncaknya, seribu gadis cantik tampil menyajikan tarian, dan dalam acara yang dibuka resmi oleh raja setempat itu dipertunjukkan pula akrobat dan puisi. Di India, orang memasak beberapa jenis makanan untuk dipersembahkan kepada ‘roh’ Nabi SAW dan membagikannya kepada fakir miskin.[5]
2.      Berbagai Bentuk Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi sudah menjadi tradisi keagamaan di kalangan umat Islam di berbagai belahan dunia, dalam berbagai bentuk dan motivasi sebagaimana terlihat dalam sejarah di atas termasuk berkembang di Negara Indonesia. Mulai dari motivasi untuk mendapatkan popularitas, sedekah (ibadah sosial), membaca puji-pujian, dan menggugah semangat juang kaum muslim yang tampak sudah lemah (dakwah), sampai motivasi memberikan persembahan kepada ‘ruh’ leluhur/panutan.
Peringatan Maulid Nabi diselenggarakan dengan beragam corak, terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain. Dari masa ke masa corak tersebut berkembang sesuai situasi dan kondisi serta budaya kaum muslim di wilayah masing-masing. Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, di Indonesia peringatan Maulid Nabi diselenggarakan dalam berbagai bentuk sebagai perwujudan tradisi lokal, misalnya perayaan sekaten yang dilakukan kalangan Keraton Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Perkembangan bentuk dan variasi peringatan itu terlihat dengan adanya upaya panitia pelaksana untuk melengkapi kegiatan itu, misalnya dengan bakti sosial, festival kesenian, atau seminar (diskusi ilmiah), dll. Penyelenggaranya pun merata, di kampung-kampung, masjid/mushalla, perkantoran, sekolah, dan perguruan tinggi, bahkan peringatan juga diadakan di Istana Negara yang biasanya dihadiri oleh presiden, pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi Negara, korp diplomatik, ulama, pimpinan organisasi politik dan keagamaan, pemuka agama Islam, dan umat muslim.[6]
Di Lombok Nusa Tenggara Barat, Maulid Nabi dirayakan sangat meriah dan penuh dengan nuansa spiritual, terutama oleh para anggota Nahdlotul Wathan. Di Keraton Yogyakarta, perayaan Maulid Nabi dikenal dengan acara sekaten (asalnya: syahadatain), yang diselenggarakan dalam waktu yang cukup panjang dan sangat kuat dipengaruhi budaya lokal.[7] Cara ini tentu berbeda dengan yang dilaksanakan di masjid-masjid pada jaman lampau, yakni dengan membaca syair Arab yang dikenal oleh dunia pesantren dengan al-Barzanji, al-Diba’, dan al-Burdah atau Syaraf al-Anam.[8]  Di pesantren tradisional, selain membaca al-Barzanji, al-Diba’ atau Syaraf al-Anam, juga tahlil dan doa bersama. Sementara itu, di perkotaan perayaan lebih diorientasikan pada aspek dakwah dan sosial dengan tujuan menggairahkan kehidupan beragama dalam keluarga, masyarakat, dan meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Kegiatannya bervariasi sesuai kebutuhan dan orientasi lembaga pelaksananya, antara lain ceramah, lomba, diskusi/seminar, khitanan massal, pengobatan gratis, pasar murah (bazar), dan berkunjung ke panti asuhan, dll.
3.      Wacana Kontroversial tentang Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sejak pertama kali diselenggarakan oleh Dinasti Fatimiyah sudah menimbulkan kontroversi. Uji coba ini dirasakan kurang tepat. Oleh karena itu, penguasa Dinasti Fatimiyah berikutnya melarang penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi.[9] Bukti lain bahwa keabsahan peringatan Maulid masih diperdebatkan adalah bahwa banyak ulama dari berbagai mazhab secara eksplisit menunjukkan sikap pro dan kontra terhadap tradisi ini. Al-Suyuthi, seorang ulama dari mazhab Syafi’i, menulis kitab Husn al-Maqsid fi ‘amal al-Mawlid untuk mengesahkan tradisi maulid. Sebaliknya, al-Fakihin, seorang ulama dari mazhab Maliki, menolak peringatan Maulid Nabi yang secara terurai dia jelaskan alasan-alasannya dalam kitabnya Al-Mawrid fi Kalam al-Mawlid.[10]
Dalam era modern, peringatan maulid bukan hanya dipersoalkan oleh kelompok reformis-puritan, seperti orang-orang Wahabi yang secara jelas mengharamkannya, tetapi juga oleh orang-orang yang moderat. Argumen “klise” yang mereka ajukan adalah bahwa peringatan Maulid Nabi tidak diperintahkan dalam nash al-Qur’an, juga tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan juga tidak ditradisikan salaf shalih.[11]
Peringatan Maulid Nabi berubah menjadi perayaan yang sangat popular yang diselenggarakan hampir di setiap kawasan Islam setelah dipopularkan oleh Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Wilayah Irbil pada masa Sultan Salahudin al-Ayyubi. Peringatan sepenuhnya didukung oleh kelompok elit politik saat itu, dengan tujuan untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam dalam meng-hadapi perang salib. Namun perlu dicermati, bahwa peringatan ini diselenggarakan dengan menyisipkan kegiatan hiburan, di mana atraksi-atraksinya melibatkan para musisi, penyanyi, serta pembawa cerita (story tellers). Ukuran kemeriahan peringatan bisa dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang dari berbagai daerah, bahkan sampai dari wilayah luar kekuasaan Abu Sa’id al-Kokburi.[12]
Di Indonesia, perdebatan sengit tentang peringatan Maulid Nabi ini terjadi sebelum tahun 1970-an. Sampai sekarang, perdebatan serupa juga sesekali masih terdengar, namun resonansinya sudah tidak senyaring era tahun 1970-an, muncul pada saat-saat tertentu dan dalam skala yang kecil.[13]
 Kritik terhadap peringatan maulid di Indonesia pada era sebelum tahun 1970-an diarahkan kepada tradisi membaca tiga kitab maulid, yang dilakukan oleh kalangan pesantren, yaitu al-Barzanji, al-Diba’, dan al-Burdah. Kalangan pesantren memang menjadikan tiga kitab tersebut sebagai  bacaan tunggal dalam setiap kegiatan peringatan Maulid mereka. Perlu diinformasikan bahwa kalangan pesantren bukan hanya membaca tiga kitab tersebut, tetapi juga memasukkan kajian maulid ke dalam kurikulum pesantren, misalnya kajian kitab Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud, karangan Muhammad Ibn Umar al-Bantani.[14]
Mereka yang menolak peringatan maulid menganggap bahwa peringatan maulid yang dilakukan dengan cara membaca kitab tadi adalah perbuatan tercela (bid’ah dhalalah). Selanjutnya, mereka munuduh bahwa dengan tetap mempertahankan tradisi maulid, berarti kalangan pesantren telah mengesahkan amalan yang dicela Islam.[15]Alasan yang mereka kemukakan adalah pujian yang termuat dalam tiga kitab tadi melanggar batasan puji-pujian yang digariskan oleh syari’ah. Menurut mereka, materi pujian yang menggambarkan Nabi sebagai pemberi syafa’ah, ampunan, dan keselamatan adalah perbuatan syirik karena pujian seperti itu menempatkan Nabi dalam kapasitas sebagai pemberi keselamatan, sebuah status yang menjadi hak mutlak Tuhan saja.[16]
Penolakan terhadap konsep syafa’ah memang bisa dipahami ketika dengan syafa’ah itu dimaksudkan untuk memosisikan Nabi sejajar dengan Tuhan. Namun demikian, ulama fikih dan ulama kalam sepakat tentang adanya syafa’ah dalam syariat Islam.[17] Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat al-Qur’an dan Hadis yang mengungkapkan adanya syafa’ah tersebut, misalnya firman Allah SWT,
“… tiada yang dapat memberi syafa’ah di sisi Allah tanpa izin-Nya…” (Q.S. [2]: 255),

“…dan mereka tiada memberi syafa’ah melainkan kepada orang yang diridhai Allah …” (Q.S. [21]: 28),

 “Katakanlah, hanya kepunyaan Allah syafa’ah itu semuanya..” (Q.S. [39]: 44),
 
dan “... Barangsiapa memberi syafa’ah yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barang siapa yang memberi syafa’ah yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya...” (Q.S. [4]: 85).
Dalam riwayat Hadis, Rasulullaah SAW pernah memberi syafa’ah kepada seseorang yang telah meninggal. Hadis yang memberitakan tentang syafa’ah tersebut bukan hanya memiliki kualitas shahih, tetapi juga qudsi. Barangkali karena konsep syafa’ah sudah memiliki landasan nash ayat maupun Hadis, maka sebagaian ulama kemudian menerima keabsahan syafa’ah dengan cara membuat kesepakatan sampai ke tingkat ijma’ (konsensus).[18]
Kendati terdapat kesepakatan ulama dalam menetapkan adanya syafa’ah, Abdur Rahman bin Hasan, tokoh pemurni ajaran Islam, melihat bahwa tidak semua syafa’ah dibenarkan oleh Islam.[19]  Me-nurutnya, syafa’ah memiliki dua bentuk, yaitu syafa’ah yang tidak dibenarkan Islam dan yang dibenarkan Islam. Syafa’ah yang tidak dibenarkan Islam, yaitu syafa’ah yang diberikan untuk orang kafir dan musyrik, sedangkan syafa’ah yang dibenarkan Islam, yaitu yang memenuhi dua kriteria, pertama, syafa’ah yang diizinkan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada orang-orang tertentu, tercermin dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 255. Kedua, syafa’ah yang diridhai oleh Allah untuk diberikan kepada orang-orang tertentu, tercermin dalam Q.S. al-Anbiya’ [21]: 28. Syafa’ah yang dibenarkan oleh Islam atas dasar dua kriteria tadi tersimpul dalam Q.S. [20] 109 yang artinya, “Pada hari itu tidak  berguna syafa’ah, kecuali (syafa’ah) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi ijin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataannya.”
Perlu dijelaskan bahwa syafa’ah Rasulullah SAW yang diberikan kepada umatnya besok pada hari kiamat itulah jenis syafa’ah yang dibenarkan oleh Islam. Jenis syafa’ah Nabi SAW itulah yang dimaksudkan dalam tiga kitab maulid yang biasa dibaca di pesantren dalam peringatan Maulid. Kitab Qasidat al-Burdah, misalnya, menggambarkan jenis syafa’ah dimaksud sebagaimana yang diriwayatkan dalam salah satu bait syair dalam kitab itu, artinya Dia (Muhammad) adalah orang yang dicintai dan yang syafa’atnya diharapkan kelak bisa membebaskan (umatnya) dari kegalauan suasana (di hari kiamat) yang sangat menakutkan itu. (huwa al-habib al-ladzi turja syafa’atuhu li kulli hawlin min al-ahwal muqtahimi).[20]
Yang menarik dalam mengamati penolakan tersebut adalah bahwa para penolak telah mengeluarkan tradisi pujian kepada Nabi dari dimensi kesejarahannya. Tampaknya mereka tidak memperhitungkan bahwa tradisi pujian sudah ada sejak masa Nabi SAW hidup, artinya tradisi pujian kepada Rasulullah SAW adalah tradisi yang usianya setua Islam itu sendiri. Tradisi ini diperkenalkan oleh tiga penyair resmi Rasulullah SAW, yaitu Hasan Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Rawahah, dan Ka’ab Ibn Malik.
Tradisi pujian kepada Rasulullah ini tidak hanya disetujui oleh Nabi, tetapi juga didorongnya. Hal ini tampak ketika Nabi memuji Ka’ab Ibn Zubair yang menggubah qasidah pujian kepadanya. Nabi setelah mendengarkan pujian yang disampaikan oleh Ka’ab sangat terkesan, sampai-sampai Nabi melepas burdahnya dan dikenakan ke tubuh Ka’ab sebagai hadiah sekaligus ungkapan persetujuan. Qasidah pujian yang digarap oleh tiga penyair Rasulullah dan Ka’ab kemudian menjadi acuan bagi para penyair muslim, ketika berkreasi menciptakan pujian, baik dalam bentuk sya’ir (puisi) maupun nathr (prosa), sebagaimana tampak dalam tiga kitab Barzanji, Burdah, dan Syaraf al-Anam yang beredar sampai sekarang. Produktivitas karya pujian mereka kepada nabi melahirkan jenis pujian khas, dan dengan karakter yang spesifik, yang dalam kajian sastra Arab dikenal dengan istilah al-Mada’ih al-Nabawiyah (Prophetic Penegerics).[21]
Pujian kepada Nabi SAW sering menggunakan bahasa yang penuh dengan ungkapan metaforik dan simbolik agar kesempurnaan pribadi nabi bisa tergambarkan dengan jelas. Hal seperti ini tentunya bisa dimaklumi karena al-Qur’an sendiri ketika menyebut nama Muhammad seringkali diiringi dengan berbagai ungkapan pujian yang elok, agar peran Nabi sebagai manusia pilihan yang harus diteladani bisa tergambarkan.[22]
Pujian kepada Nabi yang terangkum dalam tiga kitab Maulid tersebut, walaupun disajikan dalam bentuk ungkapan penuh metafor dan simbolik, bukan tipe pujian yang mengangkat derajat kemanusiaan Nabi Muhammad SAW sampai ke tingkat Tuhan (deity), bahkan pengarang al-Burdah sendiri, al-Busiri, mengecam mereka yang memuji Nabi sampai menghilangkan dimensi kemanusia-annya. Menurutnya, pujian ekstrim dilarang keras oleh Rasulullah sendiri, sebagaimana yang dinyatakan dalam sabda Beliau bahwa, “La tutruni kama atra al-nashara Isa” artinya, “Janganlah engkau memberikan pujian kepadaku sampai melewati batas, sebagaimana pujian yang diberikan oleh orang nasrani kepada Isa.”[23]
Kritik terhadap Maulid juga diarahkan pada cara para pembaca kitab Maulid melagukan sya’ir dan prosa bersajak dalam kitab maulid tersebut, yang menurut para penolak Maulid, hal itu disertai dengan gerakan kepala.[24] Barangkali yang dimaksud dengan gerakan kepala adalah gerakan untuk berdzikir karena mereka menduga bahwa membaca kitab Maulid selalu dibarengi dengan kegiatan dzikir. Perlu dijelaskan di sini, bahwa gerakan kepala, baik yang dimaksudkan untuk berdzikir ataupun tidak, tidak ada dalam prosesi bacaan kitab Maulid. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan kepala bisa saja terjadi sebagai reaksi spontan terhadap bahan bacaan yang memiliki ritme (prosa bersajak).
Mengkaitkan berzikir dengan pembacaan kitab Maulid memang bisa saja relevan karena peringatan Maulid adakalanya didahului dengan acara dzikiran, sebagaimana yang terjadi di Mesir. Namun demikian, jika pengkaitan antara keduanya dilakukan untuk mengidentifikasi karakter tradisi Maulid di Indonesia, maka pengkaitan seperti itu tidak bisa dibenarkan, sekalipun zikir dengan gerakan kepala adalah model zikir yang diamalkan oleh kalangan pesantren yang notabene adalah pemilik tradisi membaca kitab Maulid di Indonesia.[25]
Mereka yang menolak tradisi maulid juga mendasarkan pada pendapat Ibn al-Hajj (seorang ulama mazhab Maliki), yang dalam kitabnya al-Madkhal sangat mengecam dan mengharamkan Maulid, yang menurut pengamatannya selalu melibatkan aktivitas hiburan. Ibn al-Hajj menilai bahwa dengan memasukkan hiburan ke dalam peringatan Maulid, maka peringatan Maulid itu telah berubah fungsi dari media untuk mengagungkan Nabi SAW menjadi media untuk melakukan maksiat.[26]
Ulama lain yang pendapatnya sering dijadikan sandaran oleh kelompok penolak peringatan Maulid adalah Ibn Taymiyah. Ibn Taymiyah mengecam tradisi peringatan Maulid, jika perayaan (hiburan/maksiat) seperti itu dianggap sebagai bagian integral dalam peringatan Maulid. Perayaan seperti itu dinilai sudah kehilangan nilai peringatan yang sesungguhnya.[27]
Perlu disebutkan bahwa sekalipun Ibn al-Hajj mengecam tradisi Maulid, peringatan Maulid yang tidak dibarengi dengan unsur-unsur hiburan (folkloric elements) baginya diperbolehkan. Dia sendiri mengkategorikan peringatan Maulid yang tidak melibatkan musik, lagu, serta pesta sebagai tradisi yang baik. Sikap seperti ini bisa dimengerti karena Ibn al-Hajj memahami Maulid sebagai peristiwa yang harus diisi dengan kegiatan reflektif dan bukan dengan kegembiraan.[28] Sikap Ibn Taymiyah tidak jauh berbeda dengan sikap Ibn al-Hajj, Ibn Taymiyah hanya menyoroti praktik-praktik popular yang sudah menyatu dengan peringatan Maulid. Sementara itu, peringatan yang semata-mata dilakukan untuk mengungkapkan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW menurutnya bukan kegiatan bermasalah.[29]
Tradisi pembacaan kitab pujian kepada Nabi SAW biasanya dilandaskan kepada pendapat para fuqaha dari mazhab Syafi’i. Ibn Hajar al-Atsqalani, misalnya, menyatakan bahwa tradisi seperti itu menyimpan makna kebajikan. Al-Suyuthi juga menunjukkan sikap toleran terhadap produk budaya yang dihasilkan oleh tradisi mengagungkan kelahiran Nabi SAW.[30] Sikap kedua fuqaha tadi juga disepakati oleh fuqaha Syafi’I yang lain, seperti Ibn Hajar al-Haytami dan Abu Shamah. Bagi kedua ulama terakhir ini, peringatan Maulid menjadi satu perbuatan (baru) yang paling terpuji (wa min ahsani ma ubtudi-a), jika disertai dengan amal ihsan kemasyarakatan, seperti sadaqah, infaq, serta kegiatan lain yang bernilai ibadah.[31]
Mereka yang menolak tradisi Maulid juga menganggap bahwa Hadis yang digunakan oleh pendukung tradisi Maulid adalah Hadis maudlu’ (palsu),[32] misalnya Hadis, “Barangsiapa yang meng-agungkan hari kelahiranku, maka akan aku beri syafa’ah nanti di hari kiamat”. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa orang-orang yang melaksanakan peringatan Maulid memang biasa menggunakan Hadis yang lemah periwayatannya. Oleh karena itu, menurut mereka, orang-orang tersebut bukan hanya bertanggungjawab terhadap tersebarnya Hadis Maudlu’ tentang maulid, tetapi juga Hadis Maudlu’ lain yang melahirkan berbagai tradisi keagamaan di Indonesia yang tidak dibenarkan oleh agama.[33]
Bagi pendukung tradisi maulid, mengatakan bahwa tradisi maulid yang dilakukan itu tidak didasarkan pada Hadis Maudlu’ tersebut. Mereka juga mengetahui bahwa Hadis di atas maudlu’ dan siapa pun yang memalsukan Hadis adalah dosa. Kalangan pendukung ini menganggap bahwa peringatan Maulid sudah diisyaratkan sendiri oleh Rasul Allah ketika beliau dalam sebuah Hadis diriwayatkan, pernah menyuruh sahabatnya berpuasa di hari Senin untuk memperingati hari kelahirannya.[34] Ibn al-Hajj yang enggan menerima peringatan Maulid juga menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil untuk mengesahkan peringatan Maulid.[35] Perlu disebutkan bahwa Hadis dimaksud memiliki tingkat keabsahan yang baik karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad bin Hanbal.[36]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok yang menolak Maulid menganggap bahwa peringatan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Mereka juga berkeberatan dengan materi bacaan yang termaktub dalam kitab pujian kepada Rasul Allah. Walaupun demikian, kelompok yang mempraktikkan peringatan tersebut tidak bisa mendatangkan dalil dari al-Qur’an, mereka mendapatkan landasan hukum dari mazhab Syafi’i, yang menetapkan tradisi seperti itu sebagai perbuatan yang diseyogyakan (bid’ah hasanah) dari sebuah Hadis yang secara tidak langsung telah mengisyaratkan perlunya peringatan Maulid.
Perlu disebutkan bahwa peringatan Maulid yang biasanya dipraktikkan oleh kelompok pendukung, khususnya pesantren, semata-mata diisi dengan membaca kitab pujian kepada Rasul Allah dan tidak disertai dengan atraksi hiburan apapun. Atraksi hiburan dan maksiat dalam peringatan Maulid yang menyebabkan para ulama abad tengah, seperti Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah, mengaggap  peringatan seperti itu sebagai perbuatan yang bermasalah. Demikian pula Muhammad Abduh, seorang ulama modern yang juga menyatakan keberatannya atas peringatan Maulid, hanya mengkritik kegiatan-kegiatan di luar acara inti peringatan, seperti pasar malam, panggung gembira, dan lainnya. Abduh menamakan peringatan yang diisi dengan atraksi hiburan sejenis itu dengan istilah pasar kefasikan (suq al-fusuq).[37]
Perayaan Maulid dalam tradisi budaya Islam Jawa, misalnya Grebeg Maulid keraton Yogyakarta, biasanya melibatkan atraksi hiburan dalam sebuah pasar malam, seperti gelar wayang kulit, pertandingan olahraga, drama, lotere, bahkan judi.[38]Praktiknya sarat dengan sinkretisme. Misalnya acara mengarak gunungan (makanan yang berbentuk gunung dihiasi berbagai macam bunga, telur, dan buah-buahan), yang diyakini bisa melimpahkan berkah bagi para pesertanya. Menurut hemat penulis, yang demikian itu sudah tidak tepat lagi disebut sebagai peringatan, namun lebih pada perayaan karena lebih mengedepankan aspek kegembiraan daripada aspek reflektifnya. Bentuk perayaan seperti inilah yang menjadikan ulama abad tengah enggan menyetujuinya.
Jika menggunakan tolok ukur yang ditentukan oleh Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah yang dipegangi oleh kelompok penolak tradisi Maulid, maka Grebeg Maulid termasuk kategori peringatan yang bermasalah. Dengan demikian, yang pantas mendapat kritikan bukan tradisi membaca kitab pujian kepada Rasul Allah, tetapi Grebeg Maulid yang berporos pada acara hiburan dan ritual sinkretis.
III.             PENUTUP
Polemik tentang peringatan Maulid adalah sarana untuk menguji keabsahan tradisi keagamaan dan bukan sekadar fenomena konflik internal antarkelompok dalam masyarakat Islam. Penolakan terhadap tradisi Maulid adalah sikap yang perlu diambil untuk menghindari munculnya perilaku berlebihan dalam mengaktualisasikan rasa hormat dan cinta kepada Nabi. Sikap berlebihan bisa saja terjadi karena silau dengan berbagai sifat kesempurnaan yang ada pada diri Nabi. Pandangan pro dan kontra terhadap keberadaan tradisi maulid secara substantif tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Dua pandangan yang lahirnya bertentangan itu diperlukan untuk menciptakan asas keseimbangan (equilibrium). Seimbang karena menempatkan Nabi sebagai manusia pilihan yang kelahirannya patut diperingati, namun dalam waktu yang sama harus mengindahkan norma yang digariskan oleh Nabi sendiri. Peringatan Maulid memiliki kedudukan yang istimewa di hati komunitas muslim Indonesia. Dia adalah satu-satunya peringatan hari besar Islam yang diselenggarakan di Istana Negara. Presiden Pertama RI berwasiat kepada siapa pun yang menjadi penggantinya agar selalu menyelenggarakan peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW di Istana Kepresidenan.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1983. “al-Ittiba’ wa al-Taqlid”, dalam al-Imam, Muhammad Abduh (Ed.) Adunis dan Khalidah Sa’id. Kairo: Dar al-’Ilm li al-Malayin.
‘Alawi al-Maliki, Muhammad Ibn. 1983. Baqah ‘Atirah min Siyagh al-Mawalid wa al-Mada’ih al-Nabawiyah al-Karimah. TTP: TP.
AG, Muhaimin. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Al-Bajuri, Ibrahim. 1947. Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidah al-Burdah. Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah.
Al-Hajj, Ibn. 1929. Al-Madkhal Vol.2. Kairo: Al-Matba’ah al-Misriyah bi al-Azhar.
al-Sandubi, Hasan. 1948. Tarikh al-Ikhtilaf bi al-Mawlid al-Nabawi. Kairo: Mathba’ah al-Istiqomah
Al-Suyuthi. 1985. Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid. Kairo: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah.
Bin Muhammad al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 1973. Nail al-Authar, Juz 4. Kairo: Dar al-Jil.
Chalil, Moenawar. TT. “Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan”, dalam Pembela Islam, No. 65.
Hamim, Thoha. TT. “Pesantren dan Tradisi Maulid: Telaah atas Kritik terhadap Tradisi Membaca Kitab Maulid di Pesantren” dalam Makalah; disampaikan dalam acara dies natalis ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Khallikan, Ibnu. 1842-1987. Biographical Dictionary Vol. 2. Paris: Printed for The Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.
Mahfudh, Sahal. 1990. “Nabi Sendiri Sudah Mengisyaratkan Perlunya Peringatan Maulid”, dalam Maulid Nabi Alih Semangat Zaman Ini. TTP: TP.
‘Umar al-Bantani, Muhammad Ibn. TT. Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud. Semarang: Matba’ah Thaha Putra.
Wensinck, A.J. 1947. Syafa’a Ensyclopedia of Islam Vol. 7 (Ed.) M. Th. Houtsma et al. Leiden: EJ. Brill.
Tim Penyusun. 2005. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Tim Penyusun EHI. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.




[1]     Adat yang dianggap kebiasaan dan bersinonim dengan kata ‘urf adalah sesuatu yang dikenal atau diterima secara umum. Adat umumnya mengacu pada konvensi yang sudah lama ada, baik yang sengaja diambil atau akibat dari penyesuaian tidak sengaja terhadap keadaan, yang dipatuhi dan sangat meninggikan perbuatan atau amalan. Lihat pendapat Levy, R sebagaimana dikutip oleh Muhaimin A.G., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. 166.
[2]     Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 335.
[3]     Ibid.
[4]     Thoha Hamim, “Pesantren dan Tradisi Maulid, Telaah atas Kritik terhadap Tradisi Membaca Kitab Maulid di Pesantren”, dalam Makalah disampaikan dalam acara Dies Natalies ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[5]     Tim Penyusun, Ibid., hal. 336.
[6]     Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hal. 204
[7]     Ibid, hal. 336.
[8]     Thoha Hamim, Ibid.
[9]     Hasan al-Sandubi, Tarikh al-Ikhtilaf bi al-Mawlid al-Nabawi (Kairo: Mathba’ah al-Istiqomah, 1948), hal. 64-65.
[10]    Al-Suyuthi, Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid (Dar al-Kutub: al-’Ilmiyah, 1985), hal. 45-61.
[11]    Thoha Hamim, Ibid.
[12]    Ibnu Khallikan, Biographical Dictionary, Vol. 2 (Paris: Printed for The Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland, 1842-1871), hal. 539
[13]    Lihat artikel-artikel yang dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah dan Aula. Tim PP Majlis Tarjih “Periangatan Maulid Nabi” Suara Muhammadiyah (Juli 1993), hal. 21 : Zulfahmi, “Mawlid ke 1466” Suara Muhammadiyah (September 1993), hal. 28-29. Sahal Mahfudh, “Nabi Sendiri Sudah Mengisyaratkan Perlunya Peringatan Maulid”, Aula (Oktober 1990), hal. 67-68. “Maulid Nabi Alih Semangat Zaman Ini”, Aula (Oktober 1990).
[14]    Muhammad Ibn ‘Umar al-Bantani, Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud (Semarang: Matba’ah Thaha Putra, TT).
[15]    Thoha Hamim, Ibid.
[16]    Untuk mengetahui pendapat kelompok penolak kegiatan maulid, lihat pendapat A. Hasan dan Munawar Cholil dalam Fiderspiel: The Persatuan Islam : Moenawar Chalil “Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan” Pembela Islam No. 65.
[17]    Tim Penyusun EHI, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 1677.
[18]    A.J. Wensinck “Syafa’a” Ensyclopedia of Islam Vol. 7 (Ed.) M. Th. Houtsma et. al. (Leiden: EJ. Brill, 1987), hal. 251.
[19]    Tim Penyusun EHI, Ibid, hal. 1677.
[20]    Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidah al-Burdah (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah, 1947), hal. 22-23.
[21]    Sebagaimana dikutip oleh Thoha Hamim dari karya Zaki Mubarak, Al-Mada’ih al-Nabawiyah(Beirut: Dar al-Jil, 1992), hal. 11-12.
[22]    Q.S. al-Ahzab [33] : 43 “Dia yang salawat (memberikan rahmat) kepadamu beserta malaikat-Nya, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada terang-benderang. Dia Pengasih kepada orang-orang mukmin.” Ayat 56 al-Ahzab artinya : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat kepada Nabi (Muhammad). Hai orang-orang yang beriman, bersalatlah kamu kepadanya dan ucapkanlah salam dengan salam yang sempurna”.
[23]    Al-Bajuri, Hasyiyat, hal. 26.
[24]    Moenawar Chalil, Ibid, hal. 22.
[25]    Thoha Hamim, Ibid.
[26]    Ibn al-Hajj, Al-Madkhal Vol. 2, (Kairo: Al-Matba’ah al-Misriyah bi al-Azhar, 1929), hal. 11-13.
[27]    Moenawar Chalil, Ibid, hal. 21.
[28]    Ibn al-Hajj, Ibid., hal. 15
[29]    Thoha Hamim, Ibid.
[30]    Al-Suyuthi, Ibid, hal. 45-51
[31]    Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992), hal. 177-181
[32]    Moenawar Chalil, “Hadis-hadis Mauludan”, Dalam Abadi (29 Pebruari 1953).
[33]    Moenawar Chalil, “Ratjoen Jang Berbahaja Bagi Oemmat Islam”, Dalam Pembela Islam, No. 54, hal. 25.
[34]    Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki, Baqah ‘Atirah min Siyagh al-Mawalid wa al-Mada’ih al-Nabawiyah al-Karimah, (TTP: TP, 1983), hal. 6.
[35]    Ibn al-Hajj, Al-Madkhal, hal. 3
[36]    Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz 4 (Kairo: Dar al-Jil, 1973), hal. 335. Terjemahan Hadis tersebut adalah “Dari Abi Qatadah, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang puasa hari Senin, lalu Nabi menjawab; hari Senin adalah hari kelahiranku dan hari dimana saya menerima wahyu” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)”
[37]    Muhammad Abduh, “al-ittiba’ wa al-Taqlid”, dalam al-Imam, Muhammad Abduh (Ed.) Adunis dan Khalidah Sa’id (Kairo: Dar al-’Ilm li al-Malayin, 1983), hal. 61.
[38]    Judaringrat, “Sambutan Ketua”, dalam Risalah Sekaten I (Nopember 1954).