Selasa, 28 Februari 2012

Pendaftaran Gold & Siver Member JCI

Pendaftaran Gold & Siver Member JCI

Pendaftaran Silver dan Gold member JCI dibuka kembali. Postingan di blog ini untuk membantu teman-teman yang belum mempunyai id forum di http://juventusclubindonesia.com Sehingga teman-teman bisa mengakses formulir pendaftaran dengan mudah.
Pendaftaran Silver dan Gold member JCI dibuka setiap bulannya dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10. Untuk JCI Chapter Wonosobo, teman-teman bisa mendaftar secara kolektif melalui saudara Kamal Sholahudin http://www.facebook.com/KAMAL.LOVE.VEECHA?ref=ts
Segala keperluan dan informasi bisa langsung menghubungi saudara Kamal. Nanti akan dijelaskan tentang hal-hal yang belum teman-teman ketahui. Di sini kami sertakan link untuk mendownload Formulir Pendaftaran Gold dan Silver Member. Silahkan didownload dan diisi sebagai mana mestinya dan dikumpulkan ke saudara Kamal paling lambat tanggal 9 Februari 2012.
Demikian informasinya, semoga bermanfaat untuk kita semua. 
Vinci per noi magica Juventus !

Senin, 27 Februari 2012

Profil [KH. Ahmad Fakih Muntaha]


KH. Ahmad Fakih Muntaha


Beliau adalah putra sulung KH.Muntaha Alhafidz  dari istri yang bernama Nyai Hj Maiyan jariyah, lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955. beliau akarb dipanggil dengan Abah Faqih. Beliau mempunyai 5 putra dan 1 putri yaitu ; 
1. H. Abdurrohman Al-Asy'ari, Alh, S.H.I
2. H. Khairullah Al-Mujtaba, Alh
3. Siti Marliyah
4. Nuruzzaman 
5. Fadlurrohman Al-Faqih
6. Ahmad Isbat Caesar

Putra-putri beliau sudah ada yang menyelesaikan pendidikan baik formal maupun non formal, baik S1 maupun tahfidzul Qur'an dan juga pondok pesantren. Bahkan putra beliau yang pertama dan kedua adalah alumnus Yaman "Ribat ta'lim Khadzral maut" dibawah asuhan Habib Salim As-Satiri
1. Riwayat Pendidikan
Beliau menjalani masa kanak-kanak dibawah asuhan langsung dari Almaghfurlah KH. Muntaha Alh. Selain itu beliau juga sekolah formal di SD Kalibeber, sedangkan SMP di Wonosobo yang kemudian melanjutkan di STM juga di Wonosobo setelah selesai sekolah formal bilau dikirim untuk belajar di pesantren seperti kebayakan gus-gus yang lain. Pada tahun 1973 beliau nyantri di Pondok pesantren tremas Pacitan dibawah asuhan KH. Habib Dimyati, sampai tahun 1978.
Dipondok tremas inilah beliau mendapatkan banyak ilmu agama,baik fan fikih,nahwu shorof dan ilmu kanoragan.setelah selesai dari pondok tremas  kemudian beliau pindah ke Krapyak yang pada waktu itu diasuh oleh beliau KH. Ali Maksum (juga termasuk salah satu teman seperjuangan Simbah Muntaha Alh) selama 1 tahun. Selanjutnya beliau nyantri lagi di Buaran Pekalongan kepada Al-Mukarrom KH. Syafi'I yang juga terkenal sebagai salah satu teman seperjuangan Al-Maghfurllah Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz. Setelah itu pada tahun 1980 beliau pulang ke Kalibeber yang dilanjutkan dengan nyantri di kaliwiro kepada seorang kiyai yang terkenal dengan panggilan Mbah Dimyati. Belum genap satu tahun beliau kemudian melaksanakan akad nikah dengan salah seorang santri kalibeber yang bernama Shofiah binti KH Abdul Qodir Cilongok Banyumas, kendati beliau telah melangsungkan pernikahan, namun bukan berarti akhir dalam menuntut ilmu, karena beliau masih tetap nyantri dengan Mbah dimyati di Kaliwiro selama kurang lebih satu tahun. Ketika di kaliwiro inilah beliau mendalami kitab-kitab yang besar antaralain : Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Ihya' Ulummuddin, Tafsir Al-Munir, dan lain-lain. Kemudian beliau mukim membantu perjuangan Ayahanda beliau yaitu Simbah KH. Muntaha Al-Hafidz(Alm). Selama masa nyantri tersebut beliau mempunyai hobi yang sangat unik yang sama dengan hobinya Gus Dur yaitu Ziarah Qubur, beliau juga terkenal sebagai santri yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang tinggi dan selalu mentaati peraturan (Qonun) pondok pesantren yang ada walaupun beliau adalah putra seorang Ulama besar yang kharismatik.
2. Perjuangan Pendidikan 
Setelah pulang dari pesantren (Mukim pada tahun 1980) beliau aktif membantu mengajar di Pondok pesantren milik Ayahandanya dan ikut perkecimpung dalam masyarakat. Waktu itu santri di kalibeber baru sekitar 50 orang putra dan putri dengan prioritas Tahfidzul Qur'an (menghafal A-Qur'an) dan menggunakan sistem salafy. Pertama kali beliau mengajar pada santrinya yaitu kitab "Burdah" yang bertempat di masjid Baiturrochim. Selain mengajar pada santri beliau juga mengajar Diniyah ba'da dzuhur untuk orang kampung yang waktu itu bertempat di MI Ma'arif. Adapun kitab-kitab yang pernah beliau khatamkan antaralain adalah ; Taqrib, Bidayatul Hidayah, Sulamuttaufik, Safinah, dll sedangkan untuk ilmu nahwu diampu oleh teman beliau yaitu Bp H. Quraisyin.

Disamping mengajar, beliau juga ikut aktif dalam mendirikan lembaga-lembaga formal antara lain : SMP, SMA, SMK Takhassus Al-Qur'an dan IIQ (Sekarang UNSIQ). Beliau juga meneruskan cita-cita ayahanda beliau yang belum terealisir diantaranya; SD Takhassus Al-Qur'an, Darul Aitam, Menara Masjid Baiturrochim, dan gedung baru Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah. Beliau juga mendirikan kelas jauh diantaranya adalah : SMA Takhassus Al-Qur'an di Kepil, SMP + SMA Takhassus Al-Qur'an di Ndero duwur plus Pondok pesantren tanpa pemungutan biaya, Pondok Pesantren + SMA dan SMP Takhassus Al-Qur'an di Kalimantan barat, SMP TAQ Di Majalengka, di Tumiyang Purwokerto, di Buntu Banyumas, serta di Baran Gunung Ambarawa, dan masih banyak lagi. Satu cita-cita beliau yang belum terrealisasi adalah menjadikan Kalibeber sebagai "Semacam Vatikan" di Indonesia. Dimana nanti setiap fatwa dari kalibeber akan di patuhi oleh semua pemeluk islam diseantereo Nusantara.
3. Perjuangan Organisasi
Dalam bidang organisasi beliau aktif di Mabarot. Dan selanjutnya aktif di Tanfidziyah Ranting kalibeber, sekretaris MWC Mojotengah. Tercatat mulai Tahun 1996 sampai sekarang beliau aktif sebagai Mustasyar NU cabang Wonosobo. Dulunya Beliau juga aktif dalam partai politik antara lain P3, Golkar dan PKB. Namun demi kemaslahatan umat mulai tahun 2004 hingga sekarang beliau netral. Selain itu beliau juga menjadi salah satu sesepuh di Kalibeber bahkan diWonosobo beliau termasuk salah satu Kiyai yang paling disegani.

DOWNLOAD YOU TUBE KE MP3

http://www.audiothief.com/id-id/Video

Hal ini YouTube ke MP3 converter online mengkonversi dan download semua video YouTube Anda. Ini download YouTube converter adalah tercepat di internet dan memberikan kualitas tertinggi file mp3 converter. Copy dan paste url video (YouTube url) di kotak download dan converter mp3 akan mengkonversi video youtube ke mp3. Dengan downloader YouTube Anda dapat memotong mp3 yang Anda download dari YouTube dan mengedit ID3-tag dari video dikonversi dan download YouTube. Anda bisa melakukannya setelah Anda mengkonversi video YouTube. Semua video dikonversi ke file mp3 sekarang dapat dengan mudah diatur dalam perpustakaan musik Anda. Ini layanan dari AudioThief bebas dan cepat! Konversi bahagia!

Rabu, 22 Februari 2012

NONBAR SERIE A [Milan vs Juve]


Pertandingan bigmatch akan tersaji pekan depan di Seri A. Juventus akan berhadapan dengan AC Milan yang kemungkinan bisa menentukan siapa peraihScudetto.

JCI Chapter Wonosobo menundang para JUVENTINI untuk bergabung dalam NONBAR AC MILAN vs JUVENTUS

Tanggal : 26 Februari 2012
Pukul : 02.45 WIB
Tempat : Tazaka.net [Selatan 1/4-an Kalibeber]

JUVENTUS PER SEMPRE

Selasa, 21 Februari 2012

CERPEN : Secangkir Kopi



Secangkir Kopi


Pertama kali dia minum kopi di warung itu, dia langsung menyanjung-nyanjung Paryati si pemilik warung karena bisa menyeduhkan kopi kental manis yang pas dengan kesukaannya. Dia tertawa lebar dan tak henti-hentinya menggoda Paryati dan pemilik warung ini kempis-kempis hidungnya yang pesek itu merasa sangat tersanjung. Suaminya yang cuma pembantu nelayan itu tak pernah menyanjung dia habis-habisan seperti laki-laki ini. Maka kalau laki-laki ini datang ke warungnya dan memesan kopi, Paryati cepat sekali melayaninya, lalu duduk malu-malu tak jauh dari meja tempat laki-laki itu menikmati kopi seduhannya.

Sebenarnya dia adalah laki-laki yang tak dikenal yang tiba-tiba muncul di dusun kecil tepi pantai ini. Paryati pun belum sempat menanyakan siapa dia dan dari mana asalnya, apa tujuannya ke dusun ini? Perempuan dusun itu tidak berani banyak bertanya karena takut dibilang tidak sopan. Dia juga tidak ingat untuk memperkenalkan diri dan bercerita tentang asal-usul serta tujuannya. Orang-orang di dusun ini terlalu ramah, cepat akrab, sehingga meskipun belum lama tapi sudah merasa seperti di rumah sendiri. Dia juga punya penampilan yang tidak mencurigakan, dan mudah akrab dengan siapa saja.

Pada hari lain Paryati kehabisan gula, maka perempuan ini hanya bisa menyuguhkan kopi pahit. Dia tidak marah dan bertanya kenapa Paryati tidak membeli gula? Dia tetap memuji-muji Paryati, walau kopinya pahit, toh Paryati tetap manis. Tentu saja isteri jurumudi perahu nelayan ini jengah tapi hatinya berbunga-bunga. Dia jarang melihat laki-laki yang bertubuh gagah, berkulit kuning bersih, wajahnya tentu saja tampan. Jelas laki-laki bukan orang sembarang, entah kenapa mau mampir di warungnya yang sangat tak layak itu?

“Kalau tidak punya uang untuk beli gula, bilang saja sama aku. Berapa perlumu untuk beli gula?” katanya sambil tetap menyeruput kopi pahit.

Paryati cuma tersenyum. Dia menyodorkan beberapa lembar uang berwarna.

“Uangku habis karena harus membayar dokter kemarin untuk memeriksakan anakku sakit, juga untuk membeli obat,” ujar Paryati dan mengambil uang yang disodorkan laki-laki itu di meja. Sejak kedatangan laki-laki ini Paryati merasa sejahtera dan baru sekarang bisa memegang, bahkan memiliki lembaran-lembaran uang berwarna merah itu.

Dia mengangguk-angguk, menyeruput kopi pahit itu lagi. Lalu mengalihkan pandangan ke laut lepas, menatap cakrawala yang dilatari perahu-perahu nelayan, terombang-ombing dipermainkan angin. Di sudut mana pun dunia ini, pemandangan pantai dan laut selalu indah. Pantai dengan pasir dan pohon-pohon selalu dibelai oleh laut dengan ombaknya yang mengalun, kadang ombak-ombak itu keras menerjang, memecah kesunyian.

Dia menyulut sebatang rokok, menghembuskan asap, lalu menyeruput lagi kopi pahitnya. Paryati telah menyelinap ke dalam dan lembaran uang tadi dia selipkan di kutangnya sehingga buah dadanya sedikit terganjal. Lalu Tarman suaminnya tampak sibuk dan tergesa-gesa ke belakang. Dia tahu suaminya itu akan segera melaut, sarapan paginya sudah dihabiskan.

“Aku pergi bu…” ujar suaminya.

Seperti sudah sangat biasa, pamitan pagi itu pun hanya pemberitahuan saja. Paryati tak merasa perlu untuk menjawab suaminya, kecuali secuil senyuman enteng di sudut bibirnya. Setelah itu Paryati keluar lagi dan sengaja membuka beberapa kancing bajunya. Begitu Paryati bermain mata di depan pintu, dia sudah mengerti isyarat itu. Dia berdiri dan menyerbu masuk. Kedua makhluk itu langsung berpelukan, saling memagut, lalu bergulingan. Lalu desah nafas-nafas itu seperti mengikuti irama ombak menuju pasang. Perahu-perahu nelayan pun terus menjauh dari pantai.

***

Secangkir kopi kental manis selalu tetap terhidang di meja pojok warung bambu itu. Telah beberapa hari, beberapa minggu dan bulan, kopi kental manis itu dingin saja di sana. Laki-laki itu tiba-tiba tidak muncul dan tidak muncul juga. Tapi Paryati setiap pagi selalu tetap menghidangkan kopi kental manis di meja itu. Sore hari kopi itu akan di minum Tarman suaminya yang pulang melaut.

“Barangkali dia tidak akan kembali ke sini lagi? Laki-laki aneh yang kita tidak tahu asal-usulnya dan tujuannya ke pantai ini,” ujar Tarman ketika dia tanpa sungkan mengambil cangkir kopi kental manis itu lalu menyeruputnya di bawah sinar lampu listrik 10 watt yang temaram.

“Emang gue pikirin….” ujar Paryati pura-pura marah pakai gaya bahasa anak muda.

Laut telah mengajari Tarman untuk melembutkan hati. Setiap kali ketika melaut sambil mengemudikan mesin perahu, ia sering bertanya apakah di dasarnya sana laut tetap berwarna biru? Tapi laut kadang membuatnya gembira karena memberinya banyak ikan, kadang juga laut membuatnya sedih karena ikan-ikan seperti menghilang di laut lepas.

Paryati beringsut masuk ke kamarnya. Gula sudah habis lagi. Besok dia masih bisa menyeduhkan kopi tanpa gula. Tapi kopi pun kini tinggal sedikit. Tarman meneguk sisa-sisa kopi di cangkir lalu berdiri. Sebenar kemudian dia pamit pada Paryati.

“Aku mau main ke rumah Pak Joko ya bu…?” ujar Tarman tanpa menunggu jawaban isterinya.

Paryati cuma menatap diam kepergian suaminya yang sebentar kemudian hilang dalam keremangan dusun pantai itu. Suara desah ombak tak pernah berhenti dibawa angin menyaputkan dingin. Paryati merebahkan dirinya di ranjang, di tempat tidur yang lain, anak perempuannya Sumi yang baru berumur 3 tahun telah terlelap sendiri dari tadi.

Sayup pelan suara musik gamelan mengalun dari rumah Pak Joko, tempat Tarman ikut sibuk menggesek kawat-kawat rebab yang parau. Membuat malam menjadi gemulai dan lamban.

Melewati malam yang lamban membuat Paryati terlambat bangun. Ia terbangun sudah agak kesiangan itu pun karena mendengar rengekan anaknya Sumi yang duduk di sebelahnya. Dia tidak melihat Tarman suaminya, mungkin sudah melaut? Diraihnya anak perempuan berumur 3 tahun itu, digendongnya ke luar kamar. Dia ingat belum masak air untuk menyeduhkan kopi. Segera saja setelah mendudukkan Sumi di amben bambu di dapur, lalu membuat api, mengisi ceret dengan air. Ia menjerang air sambil membelai-belai anaknya Sumi. Anak itu kembali merengek dan Paryati tahu anak itu pasti lapar dan ingin makan.

Tidak berapa lama di meja yang biasa telah terhidang secangkir kopi. Setelah meletakkan secangkir kopi di meja itu, Paryati memberi makan anaknya dan mandi bersih. Meski pantai ini belum begitu dikenal oleh para pelancong, tapi sudah banyak juga yang suka berwisata ke sini. Sudah banyak juga warung-warung makan yang lain didirikan untuk melayani para pelancong, bahkan penginapan yang sederhana pun sudah tersedia pula bagi yang ingin menginap. Warung makan Paryati sering juga jadi tempat istirahat para pelancong. Paryati kini telah siap melayani pelancong yang ingin mampir di warungnya.

Paryati duduk menunggu pelancong yang mau mampir ke warungnya. Sumi, anak perempuannya bermain sendiri. Paryati menatap termangu ke arah pelancong yang lalu lalang di depan warungnya. Orang-orang yang berwajah ceria, ada yang berpeluk-pelukan seperti sedang berpacaran. Paryati tetap melamun ketika beberapa anak muda masuk ke warungnya dan memesan minuman.

“Boleh duduk di sini bu?” ujar salah seorang anak muda itu sambil menunjuk ke arah meja yang ada secangkir kopi di atasnya.

“Oh boleh, boleh…” ujar Paryati tergagap dari lamunannya.

“Ini kopi siapa?” ujar anak itu pula.

“Oh ini tadi pesanan seseorang, tapi entah kemana dia sekarang?” ujar Paryati bergegas mengambil cangkir kopi itu dan memindahkannya ke tempat lain. Sekilas dia ingat laki-laki itu dengan perasaan menyesal, tapi beberapa detik berlalu, cangkir itu terguling dari tempatnya dan tumpah. Angin pantai mendesah, menjauh perlahan ke arah yang tidak diketahui. Anak-anak muda yang kehausan itu riuh, minta Paryati cepat menyiapkan pesanannya. Kesibukan warung yang membuat Paryati masih punya harapan karena itu dia tetap berusaha melayani pembelinya dengan baik. Paryati tersenyum.

***

Di sebuah penjara kokoh di kota, detik-detik waktu sama lambannya seperti di pantai itu. Tiga tahun mendekam dalam ruang pengap penjara penuh derita, tentu saja memberikan perobahan yang sangat tajam pada penampilan dirinya. Tubuh yang dulu gagah berdaging, kini terlihat lebih kurus dan pucat. Hanya saja penampilan yang terbiasa rapi dan bersih tetap tidak hilang darinya. Ketika semua urusan pembebasannya selesai, penjaga penjara membukakan pintu. Dia memang masih sempat berbasa-basi sebentar, setelah itu bersama isteri dan anak-anak yang menjemputnya, dengan cepat ia masuk ke mobil yang telah menunggunya sejak pagi. Dia pulang ke rumah, kembali ke keluarganya dalam kehidupan yang merdeka.

Ada rasa senang di hatinya karena telah mendapatkan kembali kebebasannya. Dia merasa telah bebas dari rasa bersalah karena telah menebusnya dengan kurungan penjara. Dia juga merasa sudah bebas dari rasa bersalah mengambil uang negara karena telah ditebusnya dengan semua hartanya yang disita pengadilan untuk dikembalikan kepada negara. Dia masih merasa beruntung karena masih ada tersisa sebuah rumah untuk tempat tinggal anak dan isterinya, juga sebuah mobil. Tapi tentu saja dia kini telah menjadi rakyat biasa, tak punya jabatan apa-apa.

“Sudahlah, sekarang bapak lupakan saja semua yang telah lalu. Terserah bapak mau cari kesibukan apa, kalau bapak malu tinggal di kota ini, kita bisa pindah ke kota lain, atau kemana saja. Ibu menurut saja pada kemauan bapak…”, ujar isterinya sejenak ketika mobil yang membawanya meluncur pulang dari penjara.

”Dibicarakan nanti saja bu, yang penting bapak pulang dulu ke rumah dan istirahat, menenangkan diri. Beri bapak kesempatan untuk berpikir,” ujar salah seorang anaknya yang ikut menjemput

Dia mengangguk-angguk kecil seperti membenarkan kata-kata anaknya. Mobil yang menjemputnya terus meluncur makin menjauhi penjara celaka itu.

“Jangan pernah lagi hidup dalam penjara….! katanya dalam hati penuh penyesalan. Isterinya menyandarkan kepala di pundaknya dengan perasaan sangat tenang. Setenang pantai di dusun sana yang bayangannya tiba-tiba menyeruak di benaknya.

“Apa kabar pantaiku?” bisiknya dalam hati, 3 tahun lamanya dia tidak melihat pantai itu tanpa berkabar. Tiga tahun lalu dia pun pergi saja meninggalkan pantai itu tanpa pesan apa-apa? Dia ingin ke pantai itu, dia ingin sekali menghirup kopi kental manis di sana.

“Alangkah kangennya?” bisiknya pula dalam hati yang bergetar-getar.

***

ia telah mendapatkan kembali kebebasannya dengan tebusan kurungan penjara dan harta bendanya untuk mengganti kerugian negara yang pernah dia ambil. Dia memang menyesal telah melanggar hukum dan kini kehilangan pekerjaan dan jabatan.

“Tapi aku tak boleh kehilangan harapan!” ujarnya sambil menapaki pasir pantai dan ingat kata-kata isterinya bahwa dirinya memang tak boleh kehilangan harapan. Dia masih muda, masih punya harapan.

Dia melihat warung itu masih tetap berdiri di tepi pantai itu. Ada luapan kegembiraan yang mendorong dia melangkah lebih cepat. Siang mulai merambat naik, angin mulai berhembus kencang tanda laut akan pasang. Di tengah laut yang jauh perahu-perahu nelayan berseliweran, terombang-ambing oleh ombak dan angin.

Hup, dia telah berdiri di depan warung itu. Tiga tahun telah berlalu tapi tak ada yang berobah di sini. Meja tempat dia biasa duduk masih di tempatnya. Dia seperti melihat cangkir kopinya pun masih ada, mengepulkan asap memancing gairah.

“Mari pak, silakan….!” sambut seorang wanita dari dalam warung itu kepadanya.

“Ya, ya, yaaa…” katanya tergagap, lalu mencoba tersenyum.

“Apa mbak Paryati ada….? sambungnya sambil tetap berdiri di dekat meja itu.

“Oh, mbak Paryati yang punya warung ini dulu? Dia kan sekarang sudah tinggal bersama Pak Joko, itu di rumah besar itu…!” ujar wanita itu penuh tanda tanya ke wajahnya.

“Jadi warung ini bukan tempatnya lagi?”

“Warung ini sudah dijual kepada kami sejak suaminya yang dulu, Tarman, mati karam di laut,” ujar wanita itu pula.

“Ha, Tarman mati karam di laut?”

“Ya sudah lebih dari 2 tahun lalu, dan mbak Paryati kemudian dikawini Pak Joko yang juragan kaya itu. Daripada hidup menjanda, memang beruntung mbak Paryati bisa jadi bini juragan kaya. Lha, bapak ini siapa dan kenapa mencari mbak Paryati?” ujar wanita itu.

“Tidak, tidak apa-apa, saya dulu langganan minum kopi di sini. Ya, maaf mbak, terima kasih, saya harus pergi…” ujarnya kemudian berbalik. Kepalanya terasa agak berat membuat langkahnya sedikit gontai. Dia ingin sekali minum secangkir kopi kental manis agar bisa melangkah lebih tegak di pantai itu. Tapi yang bisa dia lakukan cuma berbalik menjauh dan angin laut makin kencang meniup ke pantai, makin bergemuruh pula ombak-ombak menerjang.

***

Cerpen Aku dan Perempuan Anganku



Aku & Perempuan Anganku


11.54 malam hari, aku baru menyelesaikan sebuah naskah dan mengirimkannya melalui email ke sebuah media. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, sebotol obat tukak lambung, dan sebuah asbak dengan satu, dua, tiga, hmm….tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku.

Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Sementara perempuanku sudah sejak tadi lena berpelukan dengan gulingnya. Buat aku, tidak terlalu penting, apakah aku harus tidur di sofa atau di ranjang yang sama dengan perempuanku.

Sebetulnya, perempuanku tidak terlalu suka tidur seranjang denganku. Begitu pula aku. Menurutku, ia terlalu banyak aturan. Sedangkan menurutnya, aku terlalu jorok. Ia selalu menyuruhku mencuci muka, tangan dan kaki, menggosok gigi, memakai kaos dan celana tidur, lalu mengecupnya dan mengucapkan "Have a nice dream, honey…" Bah! Ia memperlakukan aku seperti anak lima tahun! Bukankah lebih nyaman menyelonjorkan tubuh dengan posisi seenaknya di atas sofa, dengan perasaan puas karena aku telah menyelesaikan sebuah naskah yang baik, walaupun itu tanpa menggosok gigi dan mencuci muka, tangan, kaki, lalu mengucapkan "Selamat tidur, sayang…" kepada angan-angan?

Angan-angan?

Hm…aku meletakkan kedua lenganku di belakang kepala.

Angan-angan?

Hm…aku memasuki sebuah café di sebuah plaza di tengah kota Surabaya di sepotong senja kelabu yang bergerimis. Hanya beberapa orang duduk di dalam café itu. Sepi. Sayup-sayup When I Need You mengalun dari suara Julio Iglisias.

Angan-angan?

Hm…aku melihat seseorang perempuan duduk di meja paling sudut di dekat jendela kaca. Ia memandang rinai gerimis seakan-akan menghitung jarum-jarum air yang turun satu per satu itu dengan tatapan kosong. Wajahnya cantik tetapi muram. Tubuhnya molek tetapi bahasa tubuhnya jelek sekali. Ia menggigiti ujung jari-jarinya, ia juga mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, ia juga gelisah bergantian menyilangkan kedua belah betisnya yang langsing.

Angan-angan?

Hm…aku berjalan menuju perempuan itu.

"Kenapa kau masih di sini?" tanyaku pada perempuan itu.

Ia menoleh. Tersenyum. Tetapi tetap muram. "Menunggumu. Akhirnya kamu datang juga," jawabnya gamang.

"Sudah lama?"

"Lama sekali. Bahkan hampir putus asa menunggumu."

"Lalu kenapa terus menunggu?"

"Karena aku yakin kamu pasti datang. Karena aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu. Karena aku sudah berjanji selalu berada di sisimu."

"Ah…," aku menghela napas dan kemudian duduk di depannya.

"Kenapa kau lakukan itu? Aku sudah dimiliki seorang perempuan," kataku sambil memandangnya lekat-lekat.

Ia mengangkat bahu. "Kalau aku jawab karena aku cinta padamu…, mungkin akan sangat terdengar klise. Kamu sudah pasti menulis terlalu banyak untuk sebuah kata cinta. Kalau aku jawab karena aku percaya padamu, mungkin akan sangat terdengar tolol. Kenapa bisa percaya kepada laki-laki yang telah memiliki dan dimiliki perempuan lain. Lalu menurutmu, aku harus menjawab apa?" ia balik bertanya.

"Jawab saja sesuai kata hatimu. Bukankah kata hati adalah suara yang paling jujur?"

"Hm…," ia bergumam agak panjang sambil menghirup float avocado di depannya. "Karena ngeri sekali rasanya membayangkan bila harus kehilangan dirimu," jawabnya lugu tetapi menyentuh perasaanku.

"Kenapa aku?"

"Karena kamu memberikan rasa nyaman," sahutnya cepat.

"Apakah kamu merasa nyaman menungguku sekian lama?"

"Tidak."

"Lalu?"

Ia menikam manik mataku dengan tatapannya yang murung. "Tahukah kamu, kalau kangen itu adalah luka yang paling nikmat?"

"Ah, sejak kapan kamu jadi puitis?"

"Sejak bersamamu."

Aku tertawa kecil. Bersama perempuan ini memang mengasyikkan.

Jeda sejenak ketika aku memesan fruit punch kesukaanku.

"Fruit punch? Cold? Tidak kedinginan? Di luar hujan. Apakah tidak lebih baik memesan cappuccino?" sergah perempuan itu.

"Kamu selalu membuatku merasa hangat," sahutku.

Olala, benarkah kata-kata pujangga bahwa dunia bisa terbalik kalau sedang jatuh cinta? Panas jadi dingin dan dingin jadi panas? Malam jadi siang dan siang jadi malam? Ah, itu kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang tepat! Sergahku dalam hati. Bagaimana kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang salah? Alamak, mungkin siang malam akan menjadi panas dingin.

Telepon selularnya yang tergeletak di atas meja mendadak mengeluarkan bunyi ’mengeong’.

"Siapa?" aku bertanya tanpa mampu menahan tawa. Jarang sekali aku mendengar ring tone mengeong seekor kucing.

Ia bergerak menekan tombol view lalu memperlihatkan message di layar kepadaku: ’elu di mna, honey? Gw lagi di Palem café Plaza Senayan. Kpn mo ke jkt? Gw yg atur semuanya deh. Kgen mo refreshing ma elu :)’

"Seekor kucing yang kesepian…," sahutnya dengan nada sumbang.

"Seekor kucing?"

"Seorang laki-laki yang kesepian," ia mengulangi kata-katanya.

"Tadi kamu bilang seekor kucing yang kesepian."

"Laki-laki sama seperti seekor kucing. Licik," sahutnya enteng. "Seekor kucing yang mengeong-ngeong minta dipangku dan dielus-elus tengkuknya. Lalu ia merem melek tidur di pangkuan. Tetapi ketika tetangga sebelah menawarkan seekor pindang, dengan mudahnya ia mengeong, mengendus, dan menjilat kepada tetangga sebelah," sahutnya sejurus setelah menghirup float avocado lagi.

Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Masa sampai seperti itu?"

Ia mengangguk-angguk. Lidahnya yang merah terlihat seksi ketika ia menjilati bibirnya yang indah. "Ya, semua kucing seperti itu. Entah itu kucing Persia, kucing Siam, kucing angora, atau bahkan hanya kucing kampung. Kucing mudah tergoda dengan pindang, empal, hati, atau apa saja. Bahkan kalau tidak ada yang menawari, maka sang kucing akan mencari-cari kesempatan untuk mencuri di atas meja makan, di lemari dapur, atau bahkan mengais-ngais tempat sampah!" ujarnya pelan tetapi terasa ketus.

Aku ikut mengangguk-angguk. Ketika fruit punch-ku datang, kuhirup dulu. Rasa asam dan kecut terasa menyegarkan lidah dan tenggorokanku. Walaupun ujung hidungku juga membias dingin seperti embun yang mengkristal di badan gelas. Lalu aku menyalakan sebatang rokok kretek. Menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskannya kuat-kuat. Rokok selalu membuatku merasa lebih tenang. Terlebih lagi jika aku berhadapan dengan perempuan ini.

"Hm…itu laki-laki ya. Laki-laki seperti kucing. Bagaimana kalau perempuan?" tanyaku sejurus kemudian.

"Perempuan seperti anjing…"

"Anjing?!" aku terpana.

"Ya, setia seperti anjing. Apa pun anjing itu. Anjing herder, anjing peking, anjing cow-cow, atau anjing kampung sekalipun, ia akan tetap duduk setia menunggu pintu sampai tuannya pulang ke rumah. Ia tidak akan makan pemberian tetangga sebelah. Anjing hanya memakan yang disodorkan tuannya. Ia tidak akan mencuri-curi kesempatan. Bahkan terkadang, tuannya sudah bosan dan mengusirnya sambil melemparnya dengan sepatu, sang anjing masih kembali menjaga pintu rumah tuannya," ia bicara panjang sambil tertawa.

"Ada sebuah cerita yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak. Seekor anjing setiap pagi mengantarkan tuannya ke stasiun kereta dan setiap sore menjemput tuannya di stasiun kereta. Suatu hari, tuannya meninggal di jalan dan tidak pulang kembali. Sang anjing tetap menunggu tuannya di stasiun kereta itu sampai mati pula di dalam penantiannya di stasiun itu."

"Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik.

"Hm, menurutku ironis!" sahutku.

Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang. Tawa panjangnya memenuhi ruangan café, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokan-selokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di sepanjang lorong hatiku.

"Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau dan aku."

"Kita?"

"Ya. Kita. Kau dan aku."

"Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti.

"Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau."

"Hah?"

"Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di café. Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu. Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu."

"Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini cuma halusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi."

"Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu."

"Deja-vu?!" seruku tidak percaya.

"Kau siapa?" aku masih bertanya.

"Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada."

"Aku siapa?" tanyaku lagi.

"Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita."

"Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu. Sekarang kita ber-deja-vu?"

"Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunia lain.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?"

"Bagaimana dengan perempuanmu?"

"Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku."

Dia tertawa manis. "Dasar kucing."

"Meonggg…," sahutku.

Lagi-lagi ia tertawa. "Hai, alangkah baiknya kalau perempuan tidak lagi menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’anjing kau!’. Bukankah semestinya perempuan menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’kucing kau!’. Bagaimana menurutmu?"

"Meonggg…," sahutku lagi mengeong seperti seekor kucing yang sedang birahi.

"Kamu birahi ya? Horny, darling?"

"Meonggg…"

Aku menariknya ke dalam pelukanku di dalam angan-angan.

Dan aku orgasme ketika menyelesaikannya di dalam sebuah tulisan.

Akhirnya aku beranjak menuju kamar mandi untuk melakukan ritual perempuanku; mencuci tangan, kaki, muka dan menggosok gigi. Bah!

Ketika selesai kubasuh wajahku, aku tengadah melihat pantulan diriku di cermin di atas toilet.

Olala!

Aku separuh perempuan, separuh laki-laki.

Astaga!

Wajahku separuh anjing , separuh kucing.

Alamak!

Aku separuh menggonggong , separuh mengeong.

Ber-deja-vu-kah aku? ***

Cerpen Jangan Main-Main dengan Perempuan!



Jangan Main-Main dengan Perempuan!


Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku. Ia bebas!
"Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" mendadak saja ia sudah mendelik di depanku.
"Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang.

Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku! Jadi bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang akan aku tulis.

Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu mengusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni dari jari-jemariku sendiri.

Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun!
Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya, kusimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu! Tidak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggambarkan otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer.

Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata, tidak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku ketika aku membutuhkannya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda hidupnya kubuat jalan di tempat.

Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut yang memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan menyulam semangatnya yang hilang.

"Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku mengelegar kali ini.
Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard tuts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku menyadari perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di bibirnya sudah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua. Dan…lidahnya berapi!

Astaga!
Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan organ-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu…

"Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia bertanya dengan ketus.
Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan semangatnya. Semua masih ada di tempatnya.

"Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat baru?" Ia bertanya dengan nada mencemooh.
Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku masih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah.

"Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira semudah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri.
"Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa.

Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa seperti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa perempuanku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu.

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.
"Apa?!"

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu..."

"Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup laptopmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya seperti seorang juragan.

Nah…nah…nah…, inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun lalu. Ia benar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan, seorang direktur, kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya.

Tetapi, tidak aku!
Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati dari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya.

Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya yang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula.

"Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya.
"Aku tidak bisa..."

"Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah terlalu lama perempuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua iklan di televisi, mulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang bulan sampai obat panu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi.

"Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan menarik."
"Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik? Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja mempelajari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara riil. Dokter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora, labia minora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan untuk proses inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di kemudian hari, dengan alasan kemajuan ilmu kedokteran."

"Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga..."
"Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang.
Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara.

"Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa menjadikan alasan bagi laki-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki yang impoten, azospermia, ejakulasi dini, atau apa saja namanya..., bisakah dijadikan alasan buat perempuan kawin lagi? Di mana hukum perkawinan kita menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"

"Ah…kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran Hotel Indonesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi perempuan," aku mulai kalah omong.

Nah…nah…nah…, wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu? Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar membuat posisi laki-laki berbahaya.

"Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan koran masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et repertum vagina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan dibuang. Kenapa tidak pernah ada berita seperti ini...hm..." Ia kelihatan berpikir sejenak. "Begini...: Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang dengan bagian-bagian tubuh terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya, dan menggigit penis yang dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?"

Huek!
Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh.

Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata lagi, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin tenggorokannya.

Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau mungkin aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak mengenal makna tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak kenal dengan perempuanku sendirikah?

Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil sebatang rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi.

"Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang perempuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang untuk sembunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga kelaminnya!"

"Ng… karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia menangis juga menarik, ia telanjang…apalagi. Menarik sekali!"
"Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan."

"Karena menelanjangi perempuan itu nikmat."
"Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya, kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya seperti peluru keluar dari moncong senapan.

Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif kereta api.

Aku terdiam.
"Atau... karena kalian cuma main-main dengan perempuan..." Ia menutup kata-kata dengan nada sumbang.

Mungkin ya.
Mungkin?

Ya. Mungkin.
Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan mainan kata-kata, mainan imajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi jika ternyata "permainan" dengan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan seperti yang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu harus meletakkan masalahnya di mana.

Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan? Atau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika dipergunakan sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan berharga dari segala segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai kepada para pujangga dan seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat rendah sehingga tidak mempunyai persamaan hak di dalam hukum dan seks?

Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga atau rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia ingin mengganti posisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum laki-laki akan memasungnya. Karena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan menjadi "subyek" maka ia akan membahayakan posisi laki-laki.

Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan, ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga!
Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan berkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini…"

Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya yang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih merasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan.

Aku gemetar.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan..." ***